Hendrajit
Hendrajit

Jakarta, Aktual.com —Maraknya berita soal reshuffle kabinet dalam tubuh pemerintahan Jokowi-JK belakangan ini, justru mengabaikan satu pertanyaan maha penting. Apakah Jokowi punya seorang penasehat senior. Seorang Consigliere.

Sebenarnya meskipun dewan para menteri alias kabinet itu penting untuk menggambarkan kinerja presiden dan pemerintahan, namun yang penting bagi seorang presiden adalah siapa yang merupakan penasehat senior dirinya yang sebenarnya.

Seorang presiden yang kompeten dan penuh integritas, harus punya penasehat senior. Karena sang penasehat senior sejatinya merupakan alter ego sang presiden.

Kalau di dunia mafia, seorang Godfather punya yang namanya Consigliere, penasehat senior. Seorang Godfather, biasanya memilh seorang Consigliere atas dasar dua kriteria: punya pengalaman luas dan pandangan-pandangan praktis. Dan tentu saja, orang yang memang dipercaya.

Meski Consigliere ini ada di dunia mafia, namun peran strategis ini praktis digunakan juga oleh Presiden, Gubernur, Bupati, dan bahkan para Menteri pun punya Consigliere.

Bung Karno, punya Consigliere yang namanya Bung Hatta, Ir Juanda, dan Dr Liemena. Pak Harto, punya Consigliere yang namanya Wijoyo Nitisastro, Benny Murdani, dan Murdiono.

Orang-orang dekat presiden yang memainkan peran sebagai Consigliere praktis merupakan orang di lingkar dalam/inner circle. Terlepas dia menjabat sebagai menteri atau di luar jabatan resmi pemerintahan. Dan seorang presiden selalu bergantung pada diri seorang Consigliere.

Consigliere, sejatinya merupakan seorang pengamat keadaan, seorang penasehat, orang yang memberikan petunjuk. Singkatnya, orang yang paling diandalkan.

Mengapa Consigliere dipandang begitu penting dalam mewarnai dan ikut memberi arah kebijakan seorang presiden?

Seorang Consigliere, selalu berdiri sambil mengambil jarak dari masalah-masalah yang melekat dan menjadi beban seorang presiden. Seorang Consigliere, secara emosional tidak terlibat dengan masalah-masalah yang sedang digeluti presiden dan para menterinya.

Karena berjarak dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi presiden, seorang Consigliere bisa membantu seorang presiden untuk mengenali sifat-sifat dari masalah-masalah besar yang dihadapi seorang presiden. Membantu menganalisis dan mencari solusi pemecahannya.

Seorang Consigliere yang benar-benar mumpuni dan bebas dari aneka kepentingan kelompok atau koalisi partai pemenang, diharapkan bisa membantu presiden mengurai benang kusut maupun dari jeratan asumsi-asumsi palsu yang ada di benak dan pemikiran presiden. Karena Consigliere tidak berkepentingan secara langsung terhadap masalah-masalah yang dihadapi presiden. Karena tanggungjawab final ada pada diri presiden sebagai pemegang otoritas politik tertinggi.

Seorang Consigliere yang baik, biasanya akan memberikan nasihat-nasihat yang bertentangan dengan kebijakan konvensional. Sebab, berdasarkan pengalaman yang luas dan pandangan-pandangannya yang praktis, Consigliere tahu persis bahwa apapun yang dianggap benar dan tepat oleh semua orang, belum tentu benar dan tepat.

Bagaimana dengan Jokowi, apakah dia punya seorang Consigliere andalan? Inilah sisi menarik yang perlu diulas. Sebab Consigliere sebagai penasehat senior, bukan senior dalam arti berusia tua. Tapi pada reputasi dan kredibilitas yang melekat pada kompetensi dan bakat-bakat khusus pada diri sang Consigliere.

Ir Juanda, Dr Leimena atau Ali Sastroamijoyo, jauh lebih muda usianya dibandingkan Bung Karno ketika memainkan peran sebagai Consigliere. Wijoyo Nitisastro, Benny Murdani dan Murdiono, juga lebih muda dibandingkan Pak Harto ketika berperan sebagai Consigliere.

Seorang presiden, lepas dia seorang demokrat atau otokrat, hanya bisa menghadirkan seseorang Consigliere di lingkar dalam kekuasaannya, jika sang presiden punya kepribadian kuat dan berkarakter.

Jika seorang presiden tidak berkepribadian dan tidak berkarakter, sang Consigliere tak mungkin hadir dalam lingkar dalam kekuasaannya. Sebab akan terjadi daya tolak dari kedua belah pihak. Sang presiden secara sadar atau di bawah sadar akan menolak hadirnya sang Consigliere di lingkar dalam kekuasaannya, karena dengan kehadirannya sang presiden harus membuka topeng dirinya dan jujur terhadapa maksud dan tujuannya duduk ditampuk kepresidenan.

Dari pihak Consigliere, dengan segala karakterisitik dan tipologi yang digambarkan tadi, secara intuitif pasti akan enggan untuk memainkan peran tersebut bagi sang presiden yang tidak berkepribadian dan tidak berkarakter.Karena Consgliere, melekat dengan peran sejatinya, merupakan cermin dari kepribadian dan karakter sang presiden itu sendiri.

Sehingga ketika Consigliere menyadari bahwa dirinya berurusan dengan calon majikan yang tidak bisa diraba kepribadian dan karakternya, kontan seorang Consigliere secara intuitif akan mundur teratur karena merasa ada yang tidak beres.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Hendrajit