Jakarta, Aktual.com — Dua ilmuwan menginterupsi pembacaan dekrit yang dihasilkan dari Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) XI yang digelar di Auditorium Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Jumat (10/10) lalu.

Saat memulai interupsi salah satunya berucap,”Saya tidak tahu (dekrit) ini mau disampaikan ke mana … “. Seisi ruangan yang masih dihadiri ratusan ilmuwan meski tidak sesesak saat pembukaan, seketika senyap, tampak banyak ilmuwan muda dan tua tertunduk.

Sejak awal sebenarnya Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain telah mengatakan bahwa kongres empat tahunan yang bertujuan mengumpulkan seluruh ilmuwan di Indonesia kali ini tidak hanya sekadar menjadi tempat bertukar pikiran tentang perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, tetapi juga menghasilkan sebuah rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah untuk menyejahterakan Indonesia.

Karena itu, prakongres telah dimulai dengan berbagai Forum Grup Diskusi (FGD) yang panjang di empat komisi yang dibentuk untuk mengetahui perkembangan dunia ilmu pengetahuan teknik, ilmu pengetahuan sosial dan kebudayaan, ilmu pengetahuan alam dan maritim, serta kesehatan dan obat dengan tujuan menghasilkan rumusan dan rekomendasi penyelesaian masalah di empat sektor tadi.

Namun pertanyaan singkat sang ilmuwan senior ini seperti meruntuhkan harapan dari 700 ilmuwan yang sedikit demi sedikit dibangun saat awal mereka menghadiri kongres yang digelar selama dua hari itu.

Ketua Tim Ilmiah KIPNAS XI Lukman Hakim menanggapi interupsi sang ilmuwan. “(kongres) ini sudah terjadwal dan diberitakan secara luas. Keprihatinan kita tinggi saat Presiden ‘pergi last minute’ dari pelaksanaan Kongres AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Harteknas (Hari Kebangkitan Teknologi Nasional), dan KIPNAS,” katanya.

Usai memberikan keterangan pers Lukman menghampiri sejumlah wartawan. Ia mengatakan bagaimana Presiden Soekarno selalu bersemangat hadir dan menyampaikan orasinya di depan para ilmuwan Indonesia yang hadir.

“Dia tidak selalu hadir pada saat pembukaan, kadang saat penutupan. Dia berbicara bisa sampai dua jam di depan para ilmuwan,” ujar dia.

Kepala LIPI periode 2010–2014 ini menyayangkan bagaimana “science for policy” (sains untuk kebijakan) lama tidak digunakan di Indonesia, bahkan di lingkup istana kepresidenan sekalipun. Kasus “blue energy” di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu gambaran bagaimana para ilmuwan yang begitu banyak jumlahnya di Indonesia, yang dapat memberikan dasar pemikiran secara ilmiah untuk mengambil sebuah keputusan tidak dilibatkan.

Bahkan untuk kasus kekinian terkait kebakaran hutan dan lahan gambut yang saat ini membakar sebagian besar wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua pun tidak melibatkan ilmuwan untuk mencari tahu cara pencegahan atau pemadaman kebakaran secara tepat.

“Seperti Prof Tukhirin itu lebih dari 20 tahun menggeluti soal gambut. Tapi mungkin tidak terpikirkan untuk melibatkan ilmuwan-ilmuwan seperti Pak Tukhirin untuk mengatasinya,” ujar Lukman.

Kebijakan untuk Sains Sehari sebelum pelaksanaan puncak peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-19 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 2014, Presiden Indonesia ke-3 Bacharudin Jusuf Habibie hadir memberikan pidato di hadapan ratusan ilmuwan. Tampak benar bahwa kehadirannya sangat dinanti.

Ia bercerita dengan runut awal mula dirinya memutuskan melanjutkan pendidikan di Jerman dan bertekat mengembangkan pesawat komersial untuk Indonesia.

Habibie menyebut Presiden Soekarno, Bapak Proklamator Republik Indonesia, sebagai orator paling unggul yang memiliki visi luar biasa jauh ke depan. Presiden Indonesia pertama ini lah yang “membakar” semangatnya sejak awal untuk bisa menguasai teknologi yang berwawasan nasional, yakni teknologi dirgantara untuk menjembatai Nusantara yang secara geografis terdiri dari ribuan pulau ini.

Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain mengatakan iptek memperoleh perhatian dan dukungan besar di era BJ Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Dan pada era itu, pengembangan mengarah pada “high technology” dengan hasil pesawat N-250 berhasil “roll out” pada 1994.

“Dan jika kita lihat praera Pak Habibie anggaran litbang (penelitian dan pengembangan) terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nominalnya mungkin kecil tapi angka terhadap PDB besar,” ujar dia.

Menurut dia, setelah zaman Presiden ke-3 BJ Habibie pengembangan iptek di Indonesia kehilangan momentum.

“Kita punya paradoks, kita punya hal bagus di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), ada sistem inovasi nasional yang harus dibangun, ada pengembangan iptek yang harus kita fokuskan, ada Rencana Induk Riset Nasional yang harus kita jalankan, tapi di sisi lain anggaran itu tidak dialokasikan,” ujar Iskandar.

UNESCO menyebutkan angka dua persen belanja litbang terhadap PDB merupakan angka minimal untuk mencapai daya saing sebuah negara. Sehingga jika berpatok pada rekomendasi lembaga PBB tersebut maka di 2014 angka belanja litbang Indonesia seharusnya mencapai Rp200 triliun, namun saat ini hanya mencapai 0,089 persen dari PDB atau sekitar Rp10 triliun.

Dalam ‘Workshop on Science, Technologi, and Innovation Policy (Lesson Learned from Japan)’ pada Kamis sore (9/10), di LIPI yang menghadirkan President of National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS) Tokyo Takashi Shiraishi, persoalan dana litbang juga menjadi topik pembahasan selain pentingnya “political will” pucuk pimpinan sebuah negara terhadap pengembangan iptek pendukung pembangunan bangsa.

Takashi harus bertanya beberapa kali kepada Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappitek) Trina Fizzanty dalam workshop agar tidak salah mendapat informasi tentang angka belanja litbang Indonesia.

Setelah mengetahui bahwa total belanja litbang Indonesia hanya 0,089 persen dari PDB, ia mengatakan akan sulit bagi Indonesia untuk bisa berdaya saing.

Takashi mengatakan tiga hal yang diperlukan untuk bisa sukses mengembangkan iptek di sebuah negara. Pertama, mengidentifikasi riset dan inovasi apa yang benar-benar dibutuhkan untuk negeri, kedua, “political will” dari pimpinan tertinggi negara, dan ketiga adalah dukungan kuat dari publik terhadap apa yang akan dikembangkan.

“Di bawah Abe (Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe), setiap bulan isu tentang kebijakan baru terkait iptek yang akan dikeluarkan pemerintah dilepas ke publik. ‘Breakfast meeting’ termasuk bersama ilmuwan diperbanyak untuk membahas kebijakan baru yang akan dikeluarkan tersebut, kombinasi antara ‘political will’ dengan ‘public support’ menjadi penting,” ujar dia.

Sekali berinvestasi untuk mengubah sains menjadi inovasi harus disadari bahwa jangan berpikir bisa melihat hasilnya dalam waktu singkat, karena butuh waktu panjang bahkan sampai 20 tahun. Ini isu yang, menurut dia, harus sudah dipikirkan oleh seorang pemimpin.

“Tapi jika dia (Presiden) sudah berkomitmen, itu mungkin bisa dijalankan,” ujar Takashi.

Takashi menutup workshop sore itu dengan mengatakan bahwa dasar rencana pengembangan teknologi yang dikembangkan Jepang merupakan teknologi yang memiliki hasil tangible atau berwujud. Dan keputusan politik pemimpin lah yang diandalkan untuk bisa melaksanakan rencana tersebut.

Artikel ini ditulis oleh: