Program pembangunan infrastruktur secara masif, yang menjadi salah satu ciri pemerintahan Presiden Joko Widodo, membutuhkan dukungan dana yang besar. Pilihan strategi ini sudah di jalur yang benar. Namun, melambatnya pertumbuhan ekonomi global, yang berdampak pada kondisi perekonomian nasional, menyebabkan realisasi proyek-proyek infrastruktrur itu tidak mudah.
Postur APBN 2017 menunjukkan adanya defisit yang cukup mengkhawatirkan. Pada postur APBN 2017, pendapatan dianggarkan sebesar Rp 1.750,3 triliun dan belanja Rp 2.080,5 triliun. Ada defisit sebesar Rp 330,2 triliun yang akan ditutup dengan utang. Defisit ini bisa semakin besar, jika pendapatan ternyata tidak bisa direalisasikan sesuai rencana.
Dari anggaran belanja itu, sebesar Rp 764,9 triliun dialokasikan sebagai dana transfer ke daerah dan dana desa, dengan tujuan memperkuat desentralisasi fiskal. Salah satu realisasinya, percepatan pembangunan infrastruktur dasar. Asumsinya, infrastruktur yang buruk sangat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Menghadapi kekurangan dana untuk infrastruktur itu, pemerintah harus putar otak untuk menggali sumber-sumber dana baru, selain utang. Nah, dari situ muncul gagasan untuk memanfaatkan dana haji atau BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
Gagasan ini dimunculkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro pada 10 Januari 2017. Total setoran dana haji ke Kementerian Agama (Kemenag) saat ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 70 triliun. Menurut data Kemenag,per 2016, dana haji terbukukan sebesar Rp 89,9 triliun. Jumlah itu diperkirakan mencapai Rp 97,18 triliun pada tahun 2017.
Sementara per 2020, jumlah dana haji diperkirakan mencapai Rp 119,37 triliun. Perrkiraan ini dengan asumsi pertambahan setiap tahun sekitar Rp 8 triliun hingga Rp 9 triliun. Dana itu bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, di mana imbas hasil (return)-nya dikembalikan lagi bagi jamaah.
Gagasan ini didukung Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI). Alasannya, kapasitas infrastruktur dalam negeri masih perlu ditingkatkan. Apalagi, secara syariah, pembangunan infrastruktur bisa memanfaatkan dana masyarakat yang terkumpul dalam bentuk dana haji atau wakaf. Langkah ini dianggap lebih baik daripada mencari pendanaan infrastruktur dari luar negeri.
Jika untuk kemaslahatan umat, seperti yang selama ini dilakukan lewat Sukuk, dana wakaf atau dana haji bisa digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur. Hal ini lebih baik, karena dana itu menghasilkan sesuatu, bisa menggairahkan sektor riil, ketimbang dibiarkan tidak produktif. Dengan waktu tunggu yang cukup lama (10-15 tahun), karakter investasi jangka panjang di aset-aset produktif cukup kompatibel.
Gagasan ini sekaligus juga bisa mendukung berkembangnya ekonomi syariah. Kita tak perlu malu belajar dari negara jiran Malaysia, yang sudah lebih dulu memanfaatkan dana haji sebagai sumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur. Beberapa negara lain juga menggunakan dana haji untuk berbagai investasi, seperti perkebunan kelapa sawit atau sektor-sektor yang menguntungkan lainnya.
Saat ini, dana haji baru sebatas dimanfaatkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) melalui tiga skema, yaitu: untuk membeli Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Surat Utang Negara (SUN), dan deposito bank syariah. Di luar tiga instrumen tersebut, belum diperbolehkan. Sudah saatnya dana haji diputar untuk sesuatu yang memberi maslahat lebih besar bagi umat.
Namun, realisasi penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur tampaknya harus menunggu Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), yang hendak dibentuk pemerintah. Pembentukan BPKH ini masih dalam proses.
Dalam UU No. 35/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (PKH), BPKH bertugas mengelola keuangan haji yang meliputi penerimaan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji. BPKH berwenang menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat.
BPKH juga wajib memberikan informasi kepada jamaah haji mengenai nilai manfaat BPIH melalui rekening virtual setiap jamaah haji, melakukan pembukuan sesuai standar akuntansi yang berlaku, dan melaporkan pelaksanaan pengelolaan keuangan haji secara berkala setiap enam bulan kepada menteri dan DPR. Lalu, membayar nilai manfaat setoran BPIH secara berkala ke rekening virtual setiap jamaah haji, serta mengembalikan selisih saldo setoran BPIH dari penetapan BPIH tahun berjalan.
Dalam penjelasan undang-undang ini, peraturan pelaksana dan BPKH harus sudah terbentuk paling lama satu tahun sejak UU ini diundangkan. UU PKH sudah disahkan pada 17 Oktober 2014, jadi sekarang sudah lewat satu tahun.
Sambil menunggu BPKH terbentuk, dana haji termasuk dana abadi umat akan dimasukkan ke SDHI (Sukuk Dana Haji Indonesia). Alokasi dana haji yang masuk ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui SDHI merupakan kewenangan Kemenkeu dan Bappenas. Dana pembangunan KUA dan perguruan tinggi Islam berasal dari sukuk.
Dana haji yang ditempatkan ke SBSN dan SUN akan masuk pengelolaan Kemenkeu. Di Kemenkeu, dana dari berbagai sumber yang masuk ke kas negara bisa dialokasikan untuk infrastruktur. Ketika dana haji sudah masuk ke SBSN atau SUN, bukan Kemenag lagi yang mengelola dana haji.
Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional MUI, Adiwarman Karim, pada 14 Januari 2017 mengatakan, usulan Bappenas untuk menginvestasikan dana haji ke infrastruktur sudah tepat. Adanya pihak-pihak yang meminta dana haji tidak dicampur yang syubhat pun dinilai tidak tepat. “Masa pemerintah mau buat tempat prostitusi, kan nggak,” ujarnya kepada Republika (16/1).
Yang tak kalah penting adalah manfaat langsung bagi jamaah haji itu sendiri. Menurut Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat FEB UI, Fithra Faisal Hastiadi, investasi di proyek-proyek infrastruktur yang menguntungkan, selain berguna untuk percepatan pembangunan, juga bermanfaat untuk mengurangi setoran haji pada masa mendatang.
Keuntungan dari proyek-proyek tersebut bisa digunakan sebagai komponen untuk meringankan biaya haji. Namun, proyek-proyek yang didanai harus jelas keuntungannya. Faktor risikonya pun harus rendah. Analisis biaya-manfaat atas setiap rencana proyek harus jelas dan detail.
Faktor lain yang harus dipertimbangkan para pemangku kepentingan adalah perlu dibuat semacam lembaga penjamin. Nantinya, lembaga tersebut berfungsi untuk menanggung risiko kerugian dari proyek yang gagal. Sehingga pokok biaya haji yang dibayarkan jamaah haji tidak akan terganggu. ***
Artikel ini ditulis oleh: