Dibya menjelaskan pangsa pasar properti yang masih cukup “tebal” sekarang ini memang di kategori menengah atau dibawah sedikit dari kelas atas dengan rentang harga Rp300-700 juta/unit. Akan tetapi, ia juga tidak yakin pangsa menengah juga naik karena dalam gelaran pameran sebelumnya juga mencatat penjualan yang tidak begitu menggembirakan.

“Sebabnya apa, terus terang kami belum tahu. Persoalannya, suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) masih stabil, dukungan perbankan juga mudah. Tetapi, masih saja rendah daya beli properti,” katanya.

Disebutkannya, lesunya penjualan properti memang baru terjadi tahun ini, sebab sejak 2014 hingga 2016 masih tinggi daya belinya, sementara periode 2017 mulai dirasakan tidak bertumbuh, bahkan cenderung turun.

“Ada ‘something wrong’ dalam perekonomian yang menyebabkan sektor bisnis, khususnya ritel terkena imbasnya. Masih kami cari tahu. Kalau kami tahu penyebabnya, mudah mengatasinya,” katanya.

Persoalannya, kata dia, sekarang ini berbagai indikator bagus, kata dia, seperti suku bunga bank yang masih stabil sehingga semestinya meningkatkan penjualan properti.

“Bisa juga karena pengaruh situasi politik. Sebab. perekonomian kan juga akan terpengaruh secara makro dan bisa juga merembet terus,” katanya.

Maka dari itu, Dibya tidak terlalu optimistis bisa mencapai target pada penyelenggaraan pameran kesepuluh yang menjadi pamungkas Semarang Property Expo tahun ini.

“Sampai penyelenggaraan pameran kesembilan ini penjualan kurang lebih baru tercapai 80 persen dari keseluruhan target sepuluh kali pameran,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Eka