Jakarta, Aktual.com – Kalangan buruh yang tergabung dalam Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menyebutkan, praktik korupsi yang masih marak belakangan ini menjadi penyebab utama turunnya indeks daya saing global (global competitiveness index) yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF).

Posisi Indonesia yang semula berada di level ke-37 untuk tahun 2015-2016 melorot menjadi ke peringkat 41 periode 2016-2017. Turunnya peringkat GCI ini merupakan tantangan berat untuk bisa bersaing dengan negara-negara lain.

“Penurunan daya saing ini memang disayangkan. Apalagi jika dilihat dari tahun ke tahun di era Jokowi ini terus menurun,” tegas Sekjen OPSI, Timboel Siregar di Jakarta, Selasa (4/6).

Dia mengurai, pada tahun 2012 peringkat GCI Indonesia di posisi 50 (dari 144 negara) dengan skor 4.4. Di 2013, ada di level 38 (148 negara) skor 4.5. Di 2014 peringkatnya di 34 (144 negara) skor 4.6.

“Tapi di 2015, peringkat GCI malah merosot ke 37 (140 negara) skor 4.5. Dan di 2016–2017 kembali anjlok ke posisi 41 dari 138 negara dengan skor 4.5,” ujar Timboel.

Jika dilihat dari 12 pilar yang dinilai dalam perhitungan GCI, tingkat pemberantasan korupsi (irregular payment and bribes) memang masih rendah yaitu di skor 3.6. Serta tingkat kepercayaan masyarakat kepada para politisi (public trust in politicians) juga rendah dengan skor 3.6.

“Itu menjadi item-item yang mendukung penurunan peringkat GCI kita,” ucapnya.

Skor pemberantasan korupsi ini memang terus mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 3.7. Ranking korupsi kita tahun 2015-2016 ada di peringkat 57, namun saat ini ada di peringkat 84.

“Korupsi dan suap yang dilakukan elit politik dan birokrasi dengan melibatkan pihak swasta yang masih marak menjadi gambaran obyektif dari skor 3.6 dengan peringkat 84 tersebut,” papar dia.

Ke depan, menurut Timboel, korupsi dan suap masih terus membebani GCI. Padahal KPK sendiri sudah terus berusaha untuk menurunkan tingkat korupsi dan suap tersebut.

Terkait hubungan industrial, kata dia, penurunan GCI juga dikontribusi oleh point kerjasama bipartit (cooperation in labor-employer relation) yang masih di skor 4.7 naik 0.1, dari skor tahun lalu yang 4.6. Secara umum, pilar mabor market efficiensy memiliki skor 3.8.

Hal tersebut semakin diperberat dengan skor kehadiran perempuan di kerja paksa (female participation in the labor force) yang memiliki skor 0.61. “Selama ini pemerintah tidak pernah mengungkap fakta tentang kehadiran perempuan dalam kerja paksa ini,” jelasnya.

Pasalnya, fakta kerja paksa ini harus diungkap oleh pemerintah dalam hal ini Kemenaker RI ke publik dan harus dihapuskan. Untuk itu, Pengawas Ketenagakerjaan harus pro aktif untuk menghapuskan kerja paksa ini.

“Kerjasama antara pengusaha dan pekerja bisa dijalin dan ditingkatkan bila ada pemahaman yang baik dari keduanya tentang hubungan industrial di tempat kerja ini,” cetus dia.

Selain itu, dalam penetapan upah yang fleksibel (flexibility of wage determination) juga masih di skor 4.3 (sama seperti skor tahun lalu). Hal ini membuktikan Kehadiran PP 78/2015 khususnya pasal 44 dan 45 lalu belum menjadi regulasi yang mampu mendongkrak skor labor market efficiency khususnya tentang penetapan upah minimum.

“Padahal Pasal 44 dan 45 ini terus menuai protes dari banyak pekerja dan serikat pekerja atau serikat buruh. Makanya, penurunan GCI ini menjadi warning bagi pemerintah tentunya. Paket Kebijakan Ekonomi yang telah dirilis pemerintah ternyata belum mampu mendukung GCI kita tahun ini,” pungkas dia.

 

*Bustomi

Artikel ini ditulis oleh: