Kegalauan Jokowi antara Korbankan Pertamina atau Korbankan Citranya

Sikap pemerintah yang membingungkan bagi publik menjadi pertanyaan DPR. Ketua Komisi VII, Gus Irawan Pasaribu menilai tingkah laku pemerintah dalam mengelola negara seperti ‘anak-anak’ lantaran tidak berpegang pada perkataan. Menurut Gus Irawan, pemerintah harusnya menjaga setiap perkataan karena kebijakan pemerintah akan berpengaruh pada ruang lingkup kehidupan dalam bernegara.

“Meskipun baru rencana kalau sudah keluar (dari mulut) Menteri. Nggak bener, ya kayak anak kecil, karena nggak bisa apapun keluar dari Menteri, nggak harus tertulis, komitmen bicara. Terus terang kita sayangkan,” kata Gus Irawan.

Pada aspek lain, tak bisa dipungkiri bahwa kenaikan harga BBM dapat menurunkan elektabilitas pemangku kebijakan. Mengacu pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selama 10 tahun kepemimpinannya (2004-2014) terdapat empat kali menaikkan harga BBM.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat, kenaikan BBM pada Maret 2005 memperlihatkan elektabilitas SBY menurun sebesar 4 persen menjadi 65 persen dibanding Desember 2004. Kenaikan BBM yang kedua pada 24 Mei 2008 membuat elektabilitas SBY berada di posisi 45 persen per Juli 2008, padahal tiga bulan sebelumnya masih di angka 53 persen. Pada 2013 untuk kenaikan BBM yang ke tiga kalinya, sebanyak 44,52 persen kecewa pada SBY.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa menaikkan harga BBM merupakan kebijkan tidak popular dan menurunkan elektabilitas. Menjadi pertanyaan, apa landasan sesungguhnya yang membuat Jokowi membatalkan kenaikan harga Premium pada waktu-waktu terakhir? Dengan posisi Jokowi sebagai calon Presiden 2019, apakah Jokowi lebih mementingkan elektabilitasnya dibanding realitas memperbaiki keuangan Pertamina?

Selanjutnya…
Jokowi Buka Suara

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta