Jakarta, Aktual.co — Pegiat pro-demokrasi Hongkong merebut kembali sebagian lokasi protes dari polisi pada Sabtu (18/10), setelah terjadi huru-hara selama berjam-jam dan kepala polisi memperingatkan bahwa insiden tersebut akan merusak ketertiban dan membahayakan keselamatan umum.
Puluhan orang cidera dalam insiden tersebut, termasuk 15 polisi, yang marah saat ribuan pendemo yang beberapa diantaranya mengenakan kacamata pelindung dan helm kembali menantang polisi di distrik padat Mong Kok.
Setidaknya 26 orang ditahan.
Polisi menggunakan pentungan dan semprotan lada, serta terlibat baku hantam dengan para pegiat, namun mereka dipaksa mundur kurang dari 24 jam setelah membuka kembali lalu lintas di kawasan itu.
Unjuk rasa telah berlangsung selama tiga minggu dan menjadi tantangan politik terbesar bagi Tiongkok sejak penumpasan demonstrasi pro-demokrasi di Beijing pada 1989.
Komisioner Polisi Hongkong Andy Tsang setelah tiga minggu akhirnya buka mulut dan mengatakan bahwa pasukannya telah bersikap sangat toleran namun gagal menghentikan para pengunjuk rasa menjadi lebih radikal atau anarkis.
“Kepada para pendemo, anda mungkin berpikir bahwa aksi ilegal anda telah mencegah polisi menjalankan tugas, mengganggu pengerahan pasukan kami dan bahkan memaksa kami untuk mundur,” kata Tsang dalam sebuah jumpa pers.
“Mungkin itu benar. Tapi saya katakan: aksi ilegal ini merusak aturan hukum, merusak tempat bergantung bagi Hongkong untuk berhasil.” Setelah polisi mundur, pendemo segera memasang kembali barikade yang terbuat dari peti pengemas dan pagar. Tsang mengatakan perebutan kembali kawasan itu “benar-benar merusak ketertiban dan membahayakan keselamatan umum”.
Pengunjuk rasa, dipimpin oleh para pelajar yang bergejolak, menuntut pemimpin Partai Komunis Tiongkok menepati janji dalam konstitusi untuk memberikan demokrasi penuh bagi bekas koloni Inggris yang dikembalikan ke Tiongkok pada 1997 itu.
Hongkong diperintah di bawah formula satu negara dua sistem yang memungkinkan wilayah itu menikmati otonomi luas dan kebebasan serta memberikan hal pilih universal sebagai tujuan akhir.
Namun pada 31 Agustus Beijing menetapkan bahwa kandidat yang akan maju dalam pemilu 2017 harus mendapat persetujuan pemerintah. Keputusan ini oleh pegiat demokrasi disebut telah menjadikan konsep hak pilih universal tidak berarti.
Pengunjuk rasa menuntut adanya pemilihan bebas untuk memilih pemimpin mereka.
Kawasan Mong Kok pada Sabtu siang tampak tenang, aksi protes berkurang karena para pegiat beristirahat. Polisi tetap berdiri dalam formasi jauh dari barikade.
Poster-poster bertuliskan “Rebut kembali Mong Kok!” ditempel di toko-toko. Pengunjuk rasa yang bertahan bersiap menghadapi kemungkinan bentrok pada malam.
Seorang pelajar Angel So (20) mengatakan ia siap mencegah polisi membersihkan kawasan itu lagi. “Kami akan terus datang kembali,” katanya sementara seorang rekannya Terry Wong bersiap menghadapi bentrok dengan polisi.
Joshua Wong (18), kutu buku yang pidato berapi-apinya membantu mendorong aksi unjuk rasa, menunjukkan sikap memberontak.
“Kami akan bertahan dan berjuang sampai akhir,” katanya kepada Reuters saat ia memantau massa dari atas pintu keluar stasiun bawah tanah.
Peningkatan konfrontasi ini menggambarkan dilema yang dihadapi polisi dalam upayanya menyeimbangkan antara penegakan hukum dan tidak memprovokasi pendemo yang sudah keluar dari lokasi sejak akhir bulan lalu di tiga pusat perbelanjaan dan distrik pemerintah.
Selain Mong Kok, sekitar 1.000 pendemo bertahan berkemah di Hong Kong, dalam lautan tenda yang dipasang di jalan raya delapan jalur di bawah gedung-gedung pencakar langit dekat gedung-gedung pemerintah.
Terkait tawaran Leung untuk melakukan dialog pekan depan, tidak banyak pihak yang berharap dialog itu akan menghasilkan resolusi tanpa konsesi lebih konkrit dari pihak berwenang.