Jakarta, Aktual.co —Belakangan ini, aktivitas demonstrasi, unjuk rasa, atau aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat semakin marak terjadi. Lalu menanggapi persoalan tersebut, bagaimana ditinjau dari pandangan Islam?
Demonstrasi atau pun unjuk rasa merupakan salah satu cara untuk menunjukkan aspirasi atau pun pendapat masyarakat secara berkelompok. Secara umum, aktivitas menampakkan aspirasi atau pendapat di dalam Islam merupakan perkara yang dibolehkan (mubah). Hukumnya sama seperti Anda mengungkapkan pandangan atau pendapat tentang suatu perkara.
Sementara itu, Imam Al Khattabi mendefenisikan istilah unjuk rasa atau demonstrasi, dimana beliau memahaminya serta mendukung dalam demontrasi yang terkait dengan jihad dan medan perang.
Allah SWT berfirman: ”Jika mereka mencari pertolongan, maka tolonglah mereka.”
Jika Muslim (kaum Muslimin yang diperangi) meminta bantuan kita untuk berperang, maka kita harus berperang (membantu mereka). Aksi atau demonstrasi dilakukan untuk menguatkan moral kaum Muslimin pada saat lemah, meninggikan kembali motivasi mereka. Itu adalah sebuah bentuk lain dari mendukung.
Pada hakekatnya, demonstrasi yakni bentuk menolak kejahatan dan menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar, red). Hal itu juga telah Rasulullah SAW lakukan pada masanya. Maka demonstrasi bukanlah bid’ah dan hal itu (demonstrasi) juga mempunyai hujjah. Namun demikian, yang perlu harus dipahami siapa saja yang berbicara tentang demontrasi harus memahami realitas demontrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, aktivitas unjuk rasa bukanlah metode. Menurut Islam dalam melakukan proses perubahan di masyarakat. Apabila kondisinya memungkinkan, unjuk rasa dapat dilakukan.
Namun sebaliknya, apabila kondisinya tidak memungkinkan unjuk rasa tidak perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan hukum kebolehannya.
Rasulullah SAW tidak pernah menjadikan dan menggunakan unjuk rasa sebagai metode untuk mengubah masyarakat Jahiliah di kota Mekah menjadi masyarakat Islam. Memang, Beliau pernah melakukan aktivitas unjuk rasa satu kali di kota Mekah. Beliau memerintahkan kaum Muslim keluar dan berjalan membentuk dua shaf barisan.
Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn al-Khaththab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib R.A. Dengan diiringi suara takbir, kaum Muslim berjalan mengelilingi Kabah. Yang dilakukan Rasulullah SAW yaitu, mengambil salah satu cara (uslub) yang tidak pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain sebelumnya, yang ditujukan dalam rangka mengekspose dakwah Islam.
Menyikapi unjuk rasa atau demonstras, dalam pandangan Islam yang menjadikan masirah (unjuk rasa) sebagai mengungkapkan aspirasi atau pendapat, yang bisa dilakukan bisa juga tidak. Ternyata sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Sosialis dan Komunis.
Pasalnya, mereka menganggap muzhaharah (demonstrasi) sebagai salah satu metode baku (thariqah) dalam melakukan perubahan masyarakat. Bagi mereka, demonstrasi adalah semacam antitesa untuk menggerakkan proses perubahan masyarakat ke arah yang mereka inginkan.
Oleh karena itu, apa pun akan mereka lakukan termasuk dengan jalan merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas-fasilitas umum, negara, maupun barang-barang milik individu.
Berdasarkan hal ini, bagi masyarakat sosialis keberadaan demonstrasi adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar proses perubahan dapat bergulir. Dalam skala yang lebih luas lagi, mereka menyebutnya dengan revolusi rakyat yang mengatasnamakan rakyat, mereka berhak menghancurkan, merusak, dan membakar fasilitas dan milik umum maupun milik individu.
Dengan tujuannya adalah untuk menghasilkan sebuah sintesa, yaitu sebuah masyarakat Sosialis atau Komunis yang mereka angan-angankan.
Sementara bagi kaum Muslim, haram hukumnya melakukan demonstrasi (muzhaharah) seperti yang dilakukan oleh kaum Sosialis maupun Komunis; yakni dengan cara merusak, menghancurkan, dan membakar barang-barang milik masyarakat, negara, maupun milik individu.
Bagi kita, kaum Muslim, darah seorang Muslim, harta kekayaan yang dimilikinya, dan kehormatannya haram ditumpahkan, dirampas, dan dilanggar oleh Muslim lainnya. Di samping itu, kaum Muslim, tidak mengenal prinsip dan kaidah ‘menghalalkan segala cara’ (al-ghayah la tubarriru al-washilah), sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Sosialis, Komunis, dan Kapitalis.
Tindak-tanduk seorang Muslim, masyarakat Muslim, dan penguasa Muslim wajib terikat dengan syariat Islam termasuk dalam mengungkapkan aspirasi atau pendapat dengan berunjuk rasa maupun dalam melakukan proses perubahan di tengah-tengah masyarakat. (Dari Berbagai Sumber)
Artikel ini ditulis oleh: