Jakarta, Aktual.com – Seorang warga Jakarta Utara bernama Guntoro melaporkan dugaan kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Resort Kota (Kapolresta) Bekasi periode 2017-2019, Komisaris Besar Polisi Indarto ke Kompolnas.

Dia juga berencana akan mengeluarkan petisi dan meramaikannya lewat gerakan social media jika komisi kepolisian yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD itu tak serius menanggapi laporannya tersebut.

“Kami akan munculkan petisi jika Kompolnas lamban dalam menangani aduan saya berupa surat yang dikirim ke Kompolnas sejak 2 Juni 2020 lalu. Artinya kan sudah 1 bulan tapi belum juga ada tanggapan,” kata Guntoro saat mengunjungi kantor redaksi aktual.com, Jakarta, Senin (6/7) kemarin.

Dalam laporan itu disebutkan bahwa Indarto diduga menggunakan alat bukti palsu dalam sidang praperadilan untuk menerbitkan SP3 pada kasus yang telah memenuhi unsur pidana.

Peristiwa tersebut bermula dari adanya dugaan penipuan yang melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sukamdi, SH., MKn dan Nurhayati SH., MKn serta seorang warga bernama Sunardi pada tahun 2015 silam. Saat itu, Guntoro mengaku membeli sebidang tanah kepada Sunardi, namun setelah uang dibayarkan proses Akta Jual Beli (AJB) tidak juga berjalan.

Adapun, dugaan pemalsuan alat bukti yang digunakan oleh Indarto melalui tim kuasanya untuk memberhentikan kasus penipuan jual beli tanah itu ditemukan ada tiga jenis. Pertama, Alat Bukti T21.

Alat Bukti T21 yang berbunyi: Foto copy Surat Kuasa menjual dan menerima pembayaran atas nama SUGIONO memberikan kuasa kepada SUNARDI, tanggal 07 Oktober 2014. Bahwa alat bukti ini nyata-nyata tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sah. Alasannya tidak memenuhi persyaratan lahiriah, formil dan materiel, sebab surat kuasa menjual dan menerima pembayaran bertentangan dengan instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, yang ditetapkan pada tanggal 6 Maret 1982 juncto Surat Dirjen Agraria Nomor 594/493/AGR tanggal 31 Maret 1982 yang masih berlaku, juga bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1) huruf d PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Kedua, Alat Bukti T34. Pada jenis alat bukti ini yang berjudul Sporadik, tanda tangan Pemohon (Guntoro) nyata-nyata telah dipalsukan, dimana sangat kasat mata perbedaannya dengan tanda tangan yang asli dipandang dari segala sudut, baik dari aspek bentuk dan karakter masing-masing huruf vokal, huruf konsonan, maupun dari aspek bentuk dan karakter sambungan antara huruf vokal dan konsonan.

“Dengan demikian, alat bukti T34 ini nyata-nyata tidak punya nilai kekuatan pembuktian yang sah, alasannya tidak memenuhi persyaratan lahiriah, formil dan materiel suatu alat bukti,” tulis Guntoro dalam laporannya.

Ketiga, Alat Bukti T35, adalah sebuah hasil foto rekayasa seolah PPAT hadir secara fisik di hadapan pihak pertama membuat akta. Namun bukti itu memenuhi persyaratan lahiriah, formil dan materiel, sehingga tidak punya nilai kekuatan pembuktian yang sah. Kenyataannya adalah, sebelumnya telah terdapat sebuah foto lain yang otentik yang memenuhi persyaratan lahiriah, formil dan materiel, serta menegaskan telah sempurna jejak kriminal yang dilakukan terlapor dan PPAT gengnya.

“Mengingat bunyi narasi keterangan dari T21, T34, T35 yang dipersoalkan palsu, seutuhnya diambil sesuai Daftar Alat Bukti yang dipakai saat persidangan. Konteksnya nyata-nyata dan terang mencerminkan fisik alat buktinya memang tak berdasar hukum, atau palsu ketika dilihat oleh Pemohon. Perlu diingatkan Kompolnas kiranya perlu mewaspadai potensial kecolongan bila nanti dihadirkan alat bukti rekayasa yang edisi baru, sebagai hasil reproduksi ulang, bahkan Daftar Alat Bukti mungkin turut sekalian direproduksi ulang lagi agar sempurna tutup-tutupi pelanggarannya, berhubung kelompok ini sadis, berbahaya dan gemar bermodus mereproduksi alat bukti rekayasa,” tutupnya.

Tim redaksi berusaha mengonfirmasi ke Komisioner Kompolnas, Andrea H. Poeloengan, namun belum ada jawaban.