Jakarta, Aktual.com – Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemprov DKI Jakarta, Heru Budi Hartono berdalih tidak tahu detail rapat pembahasan Raperda Zonasi. Alasannya, BPKAD jarang ikut rapat yang digelar Badan Legislasi Daerah (Balegda).
Alasan yang sama juga disampaikan Heru terkait kebijakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk memberlakukan kontribusi tambahan ke pengembang reklamasi dari 5 persen jadi 15 persen.
“BPKAD tidak terlalu banyak mengikut rapat,” dalih bakal calon wakil gubernur Ahok itu, usai jalani pemeriksaan KPK terkait kasus suap pembahasan raperda zonasi, Kamis (14/4).
Diakuinya, keikutsertaannya di rapat pembahasan raperda yang jadi syarat reklamasi Teluk Jakarta itu dipertanyakan penyidik KPK saat pemeriksaan sebagai saksi untuk Sanusi (tersangka).
Diketahui, raperda zonasi dan raperda tata ruang kawasan Pantura Jakarta merupakan usulan dari Pemprov DKI untuk disahkan tahun ini. Kedua raperda itu diketahui menjadi bakal payung hukum bagi megaproyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta.
Sebelumnya, Kepala Bappeda DKI Tuty Kusumawati merupakan salah satu yang ‘ngebet’ agar raperda zonasi dan raperda tata ruang bisa segera lolos di DPRD DKI. “Harapannya itu, kalau sudah direncanakan mau diparipurnakan, ya dilaksanakan (reklamasi),” ujar Tuty.
Soal adanya ‘transaksi’ di pembahasan kedua raperda itu sebelumnya juga sudah dilontarkan oleh LBH Jakarta. “Sangat mungkin di belakang layar ada transaksi-transaksi yang terjadi,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Tigor Hutapea, kepada Aktual.com, 25 Februari lalu.
Kecurigaan dia mencuat, lantaran reklamasi Teluk Jakarta seperti menjadi bentuk ketidakpedulian pemerintah pada kepentingan nelayan. “Pemerintah lebih memperhatikan kepentingan pengusaha yang ingin membangun pulau dan pemukiman bagi kalangan yang cukup uang,” kata dia.
Hal dibuktikan dengan izin yang diberikan oleh para pengembang untuk membangun 17 pulau di Teluk Jakarta yang akan berimbas pada hilangnya pendapatan nelayan.
Lanjut Tigor, dalam perumusan raperda sendiri memiliki beberapa permasalahan. Di mana dalam perumusan aturan itu, nelayan yang terdampak langsung justru tidak dilibatkan. Padahal, nelayan punya kepentingan langsung terhadap daerah pesisir. “Karena tidak ada konsultasi publik dan juga sosialisasi. Jadi, kita pikir prosesnya bermasalah,” sambung dia.
Artikel ini ditulis oleh: