Staf Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Sunny Tanuwidjaja memenuhi panggilan KPK, Jakarta, Senin (25/4). Sunny diperiksa sebagai saksi terkait kasus pembahasan raperda tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil provinsi DKI Jakarta tahun 2015-2035 dan raperda tentang rencana tata ruang kawasan strategis Pantai Utara Jakarta. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/pd/16.

Jakarta, Aktual.com — Staf khusus Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Sunny Tanuwidjaja kembali bertatap muka dengan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia akan diperiksa sebagai saksi untuk kasus dugaan suap pembahasan raperda reklamasi pantai utara Jakarta.

“Sunny akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka MSN (Mohamad Sanusi),” kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, saat dikonfirmasi, Rabu (18/5).

Dalam pemeriksaan kali ini, Sunny masih akan dicecar seputar perannya sebagai penghubung Pemerintah Provinsi DKI dengan perusahaan pengembang reklamasi Pantura Jakarta.

Bahkan, anak buah Ahok itu akan ditanya sejumlah pertemuan antara Ahok dengan beberapa pengembang reklamasi, yang dugaanya membahas implementasi kontribusi tambahan.

“Masih melanjutkan pemeriksaan sebelumnya, tentang keterlibatannya dalam mengatur pertemuan yang membicarakan tentang kontribusi pengembang dan juga izin reklamasi,” tutur dia.

KPK sendiri meyakini bahwa memang ada pembayaran dari pengembang reklamasi, yang merupakan bagian dari kontribusi tambahan. Hal itu diperkuat dengan terungkapnya sebuah kesepakatan yang disebut ‘perjanjian preman’.

Berdasarkan data yang didapat Aktual.com, ada empat pengembang yang bersepakat untuk membayarkan kontribusi tambahan kepada Pemprov DKI. Kesepakatan itu terjadi pada 18 Maret 2014 lalu.

Keempat pengembang ini adalah PT Muara Wisesa Samudra dan PT Jaladri Kartika Pakci selaku anak perusahaan PT Agung Podomoro Land, PT Jakarta Propertindo serta PT Taman Harapan Indah. Para pengembang ini, yang kemudian mendapatkan izin pelaksanaan reklamasi dari Ahok.

PT Muara Wisesa telah mendapatkan izin pelaksanaan untuk Pulau G pada 23 Desember 2014, PT Jakarta Propertindo untuk Pulau F dan PT Jaladri untuk Pulau I mendapatkan izin pelaksanaan pada 22 Oktober 2015, sedangkan PT Pembangunan Jaya untuk reklamasi Pulau K mendapatkan izin pelaksanaan pada 17 November 2015.

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga membenarkan adanya perjanjian itu. Menurutnya, kesepakatan  itu dibuat dengan berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Padahal, dalam aturan tersebut tidak dijelaskan mengenai kontribusi tambahan.

“Kaya perjanjian preman kaya gitu juga,” kata Ahok. Jadi begini, di situ ada Keppres menyebutkan, ada tiga sebetulnya. Jadi landasannya dari situ. Satu, ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban, kalau kewajiban kan fasum fasos. Ada kontribusi lima persen. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tapi enggak jelas apa. Ya saya manfaatkan dong (untuk dibikinkan perjanjian sendiri),” tutur Ahok, di Balaik Kota DKI Jakarta, Jumat (13/5).

Kata Ahok, khusus Podomoro sudah mengeluarkan uang Rp200 miliar. Namun, itu belum sepenuhnya dari nilai kontribusi tambahan yang semestinya.

“Agung Podomoro sudah serahkan berapa? Dia sudah serahkan pada kami Rp200-an miliar. Yang sudah dikerjain jalan inspeksi, rusun, tanggul, pompa, dia sudah kerjain,” papar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan