Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pencapaian realisasi dan evaluasi program pengampunan pajak periode pertama di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (14/10). Periode I program pengampunan pajak harta terdeklarasi mencapai Rp3.826,81 triliun dengan total tebusan sebesar Rp93,49 triliun. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari FPKB, Cucun Sjamsurijal menyayangkan kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang membuat keputusan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada kalangan petani tebu dan gula.

Padahal, di tengah daya beli masyarakat yang lagi anjlok, kebijakan sangat membenai kalangan petani. Bahkan terkesan pemerintah frustrasi untuk menarik dana pajak dari mana saja, termasuk petani tebu.

“Ini (pengenaan PPN) memang ulah Menkeu. Padahal banyak petani selalu mengeluh ke DPR. Jelas tidak ada kedilan dalam hal PPN ini. Sepertinya pemerintah frustrasi untuk menggenjot pendapatan lain,” jelas Cucun, kepada Aktual.com, Jumat (7/7).

Padahal, kata dia, komoditas gula itu termasuk barang yang strategis dan pokok yang tak perlu dipajaki. Memang pemerintah sendiri akan mengenakan PPN 10 persen kepada petani tebu. Kondisi pun telah meresahkan kalangan petani.

Menurutnya, dulu memang ada fatwa Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan 11 komoditas pokok bisa dikenai pajak. Dan gula dianggap bukan komoditas pokok.

Namun kemudian, pada Februari 2017 lalu, ada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan, selama itu dianggap komoditas pokok meskipun di luar yang 11 itu tak perlu dipajaki.

“Itu jelas dasar hukumnya bahwa tak kena pajak. Jadi dilarang membebankan PPN kepada yang di luar komoditas yang pokok itu,” jelasnya.

Untuk itu, pihaknya minta Menkeu segera menerbitkan PMK agar PPN itu dibatalkan. “Segera keluarkan PMK agar tak lagi membenai pajak ke kalangan petani. Aturan itu cukup dengan PMK agar tak ada lagi PPN,” kata Cucun.

Rencananya, pekan depan para petani tebu, salah satunya Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) bakal menggeruduk Istana untuk meminta keadilan ke Presiden Joko Widodo agar kebijakan ini tak diteruskan.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan