Jakarta, Aktual.co — Upaya Koalisi Indonesia Hebat (KIH) untuk membentuk DPR tandingan adalah gejala politik yang mengarah pada terjadinya krisis parlemen.
Krisis parlemen adalah situasi parlemen yang masing masing kekuatan politik didalamnya selalu konfrontatif, konflik yang tak berkesudahan dan menghambat efektifitas jalannya fungsi parlemen. 
“Jika pembentukan DPR tandingan ini terjadi, menunjukan ketidakmatangan berdemokrasi sekaligus kemunduran demokrasi,” kata Direktur Puspol Indonesia Ubedilah Badrun, Jumat (31/10).
Dirinya mengatakan, syarat kematangan demokrasi adalah penerimaan masing-masing kekuatan politik untuk menerima kemenangan dan mengakui kekalahan. 
“Sebenarnya indikator kematangan demokrasi sudah dicontohkan oleh Jokowi dan Prabowo ketika mereka bertemu setelah pilpres dan saat menghadiri pelantikan Presiden Jokowi. Sayangnya ini tidak terjadi pada para anggota DPR,” kata dia.
Dia mengaku mencermati bahwa problem Dualisme DPR ini juga disebabkan karena ada nalar demokrasi yang berbeda. Kubu KMP menggunakan nalar demokrasi kuantitatif dan regulatif bahwa pemenang politik dalam demokrasi adalah mereka yang memiliki suara terbanyak, dalam konteks ini KMP adalah kekuatan kelompok politik yang memang suaranya terbanyak di DPR.
“Oleh karena itu menjadi rasional jika KMP menguasai parlemen. Selain itu, menurut KMP, pola pemilihan pimpinan alat kelengkapan dewan dengan pola paket adalah merujuk pada UU MD3 dan tatib DPR,” kata dia.
Sementara nalar demokrasi yang digunakan oleh KIH adalah nalar demokrasi kualitatif. Bahwa setiap anggota dewan memiliki hak politik yang sama untuk menjadi pimpinan alat kelengkapan dewan dan KIH bisa mendapatkanya jika penentuan pimpinan alat kelengkapan dewan dilakukan dengan mufakat.
“Nalar demokrasi kedua kubu politik di DPR itu keduanya dapat dibenarkan, tetapi yang tidak dibenarkan justru ketika tidak menerima kekalahan.”
Jika situasi krisis parlemen ini terus terjadi, dampaknya adalah Presiden Jokowi tidak akan bisa bekerja efektif dan secara sosial ekonomi Indonesia akan mengalami krisis.
“Situasi ini bisa berbahaya kalau terus berlanjut dan bisa saja terjadi situasi politik yang mirip tahun 1959 ketika bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli.
Jika ini terjadi, kata dia, maka itu Kemunduran sekaligus mengembalikan Indonesia pada demokrasinya yang klasik.

Artikel ini ditulis oleh: