Jakarta, Aktual.com – Sudah hampir tiga tahun berjalan mega proyek reklamasi yang biayai oleh para pengembang naga Taipan membentang di sepanjang 32 km bibir pantai Jakarta. Proyek dengan luasan ribuan hektare dari pesisir utara pantai Kronjo Tangerang hingga pesisir utara pantai Cilincing Jakarta Utara.

“Proses reklamasi atau pengurugan membutuhkan jutaan ton kubik material yang dikeruk dan diangkut dari Gunung Kapur Bogor, Pulau Seribu hingga Karang Antu Provinsi Banten demi membangun kota pantai modern,” terang Ketua Serikat Nelayan Tradisional DKI Jakarta, Azis Suwandi, dalam keterangannya, Minggu (20/11).

Disampaikan, kota pantai modern dari hasil reklamasi itu berbentuk pulau-pulau dan nantinya berdiri villa-villa mewah, apartement dan perkantoran elit, tempat hiburan dan rekreasi mewah, khususnya bagi mereka kalangan berduit. Sebab harganya pasti mewah dan mahal artinya adalah tempat tinggal orang-orang kaya.

Dalam perjalanannya, mega proyek reklamasi mengubah lautan menjadi daratan menimbulkan dampak lingkungan, sosial, ekonomi, hukum dan merembet pula ke persoalan politik.

Rusaknya lingkungan habitat laut dan tergusurnya tempat tinggal serta hilangnya ratusan ribu mata pencaharian masyarakat pesisir, mengakibatkan kehidupan ekonomi nelayan tidak bergerak karena bangkrut. Misalnya karena laut dan alat tangkap rusak karena reklamasi, nelayan yang tak sanggup melaut kemudian berhutang dan anak-anak nelayan terpaksa putus sekolah.

Beberapa nelayan diantaranya karena hidupnya semakin susah bahkan sampai beralih profesi jadi pemulung dan pekerja bangunan untuk sekedar bertahan hidup.

Ditambahkan Azis, reklamasi Teluk Jakata sebenarnya telah menimbulkan protes dan perlawanan masyarakat baik melalui aksi massa maupun menggugat di pengadilan. Akan tetapi lembaga negara dari DPR, DPRD DKI, KPK, Menteri KLH hingga Menteri KKP tidak berdaya.

Bahkan, Presiden Joko Widodo seolah-olah lumpuh tak berdaya ketika berhadapan dengan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang bermodalkan Keppres Nomor 52/1995 tanggal 13 Juli 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Ahok tak bergeming walaupun kalah di pengadilan melawan gugatan yang diajukan kelompok nelayan. Ahok malahan menantang secara arogan siapapun yang menghalangi menghentikan mega proyek reklamasi akan dijegal seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli.

Padahal, reklamasi sesungguhnya bertujuan meningkatkan sumber daya alam dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Diantaranya kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional dan hak lintas bagi kapal nelayan.

“Tapi semua Undang-Undang dan peraturan terkait reklamasi dilanggar dan ditabrak oleh Gubernur Ahok si kebal Hukum,” kata Azis.

Disinggung bagaimana izin lokasi yang diberikan Ahok kepada pengembang Taipan naga, padahal Raperda Zonasi sedang dalam pembahasan dengan DPRD DKI. Selain itu, kajian Amdal terkait reklamasi juga belum selesai dilakukan. Kewenangan yang memberikan izin lokasi dan pelaksanaan reklamasi untuk kawasan strategis nasional adalah menteri kelautan dan perikanan.

Dia merujuk Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahn 2014 tentang Pengelolaan WP3K dan Pasal16 pada Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang pelaksanaan Reklamasi berikut Peratran Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 mengenai Kawasan Jabotabek termasuk Kepulauan Seribu adalah Kawasan Strategis Nasional.

“Selain izin lokasi, dalam kenyataannya izin prinsip pelaksanaan reklamasi juga melanggar aturan, karena Raperda Zonasi sedang dalam pembahasan dan analis dampak lingkungan belum dilakukan.”

Berangkat dari kenyataan tersebut, nelayan Jakarta menyatakan siap bergabung dan mendukung penuh Gerakan Aksi Bela ISLAM ke III di bawah komando Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang kan digelar pada tanggal 2 Desember 2016 mendatang. Aksi dalam rangka menegakkan hukum dan kebenaran.

“Apakah Ahok betul-betul kebal hukum? Mengapa tidak ditahan? Siapakah Ahok? Mengapa dia begitu perkasa alias kebal hukum?”

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu