Jakarta, Aktual.com — Dunia usaha di sektor kehutanan masih mengeluhkan adanya Peremendag No. 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang ketentuan Ekspor Produk Kehutanan akhir tahun lalu.

Pasalnya, dengan aturan itu, justru menjadi penghambat laju ekspor dunia usaha di sektor ini. Satu hal yang menjadi masalah adalah Permendag ini tidak mendukung soal penjelasan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

“Mestinya pemerintah tidak ceroboh. Harus disikapi dulu dengan bijak. Dan regulasi itu harus mendukung kondisi industri menjadi lebih kondusif dan signifikan,” papar Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Liana Bratasida dalam diskusi bertajuk “Tantangan Era Standarisasi dalam Mendorong Ekspor Industri Hasil Hutan” di Jakarta, Senin (7/3).

Menurut dia, mestinya ada sinkronisasi di tingkat kementerian, sehingga tidak ada dampak negatif dari dikeluarkannya aturan ini.
“Tapi masalahnya dengan adanya Permendag ini SVLK kita dipertanyakan, yang ada ekspor kami ke Uni Eropa malah dikenai biaya uji tuntas (due dilligence) yang biayanya itu tidak murah, sekitar USD2.500 per kiriman,” keluh dia.

Dan anehnya lagi, regulasi ini justru sudah lima kali direvisi. Pernah dicabut tapi kemudian dikeluarkan lagi. Dan terakhir diterbitkan lagi pada 19 Oktober 2015 lalu.

“Ini (Permendag) dikeluhkan oleh Uni Eropa, padahal pasar Uni Eropa itu menjadi barometer di dunia. Jika diterima di sana, maka akan diterima juga di Amerika, Australia dan Asia,” tandasnya.

Dirinya menambahkan, sektor ini menjadi nomor pertama di Asia Tenggara dan kontribusi ke PDB sebesar 4 persen.

Dengan keluarnya Permendag ini juga sekaligus menyatakan tidak berlakunya Permendag lainnya. Antara lain Permendag no 35/M-DAG/PER/11/2011 tentang ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan; dan Permendag No 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang ketentuan ekspor produk industri kehutanan sebagaimana telah diubah dengan peraturan menteri perdagangan Nomor 66/M-DAG/PER/8/2015.

Di tempat yang sama, Deputi Menteri Perekonomian Bidang Perniagaan dan Industri, Edy Putra Irawady menyebutkan, dari sisi Permandag itu sudah keputusan pemerintah yaitu dari Kementrian Perdagangan. Namun ia menyoroti soal SVLK ini.

Menurutnya, saat ini penolakan sejumlah negara maju terhadap ekspor hasil industri hutan Indonesia, karena tidak adanya standar baku. Edy menegaskan, persoalan ekspor hasil hutan ini juga diperparah oleh maraknya duplikasi perizinan.

“Makanya, sekarang yang sedang menjadi sorotan ialah SVLK ini,” tandas Edy.

Meski begitu, pihaknya tetap akan mengatasi semua masalah tersebut. Karena yang terpenting adalah, bagaimana meningjatkan daya saing dan menggenjat daya beli masyarakat.

Untuk itu, dalam rangka peningkatan daya saing global itu, pemerintah menyoroti dalam tiga hal yaitu, efisiensi, inovasi dan penciptaan produk untuk kebaikan publik.

“Tantangan kita ini bagaimana soal ekspor dari produk kita itu bisa efisien dan ada nilai tambahnya bagi kita. Dan yang penting produk itu baik, dalan arti diambil bukan dari hasil ilegal logging,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka