Jakarta, Aktual.com – Ramai dibicarakan di berbagai kalangan sehari setelah reshuffle, seorang mantan menteri yang baru saja dilengserkan kemudian minta dikasih jabatan duta besar di luar negeri. Selain tidak tepat, bisa menurunkan derajat posisi jabatan duta besar yang sejatinya merupakan jabatan yang dimuliakan oleh semua negara yang beradaban tinggi. Serta diperuntukkan buat orang-orang pilihan.
Semasa Presiden Suharto dulu, memang kalau ada beberapa jenderal yang dipandang tidak sepahaman politik atau berpotensi sebagai pesaing, seringkali dikirim jadi duta besar. Tapi hal itu sama sekali bukan maksud Pak Harto merendahkan derajat jabatan duta besar. Kalau saya lihat malah sebaliknya.
Pertimbangan Pak Harto, beberapa jenderal yang berpotensi pesaing atau tidak segaris politik seperti Sayidiman Suryohadiprojo, Hasnan Habib, Ibrahim Adji, dan Sarwo Edhi, harus diakui merupakan jenderal-jenderal yang berpikiran cemerlang dan berwawasan intelektual. Hanya saja sayangnya, mereka-mereka ini dinilai tidak bisa bekerjasama dengan langgam dan gaya kepemimpinan Suharto.
Alhasil, menjadikan diri mereka sebagai duta besar, justru tersirat sebuah pengakuan bahwa mereka ini sejatinya punya kualitas kepemimpinan yang bagus, makanya sayang kalau mubazir begitu saja. Maka menjadikan mereka sebagai duta besar, justru diharapkan bisa jadi sarana para jenderal pilihan tersebut menyalurkan bakat-bakat kepemimpinan politiknya di Kantor Perwakilan Pemerintah Indonesia di luar negeri.
Jadi, Duta Besar itu sesungguhnya personifikasi seorang presiden dan kepala pemerintahan suatu negara. Sayidiman sebagai duta besar Indonesia di Jepang, Sarwo Edhy sebagai duta besqar RI di Korea Selatan, dan Hasnan Habib sebagai duta besar RI di Amerika Serikat, telah membuktikan diri sebagai duta-duta perwakilan bangsa yang cukup berhasil.
Di era mereka bertiga, hubungan Indonesia dengan Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat, meningkat jauh lebih baik, sehingga ketiga jenderal TNI tersebut dikenang oleh masyarakat kita dan staf KBRI sebagai sosok seorang duta besar yang cakap, melainkan juga membuktikan performance kepemimpinannya selaku representasi pemerintah RI di negara dia ditempatkan.
Sejak era pemerintahan Sukarno dan Suharto, memang jabatan duta besar seringkali dipilih bukan dari jalur diplomat karir. Bung Karno misalnya merekrut Adam Malik sebagai Duta Besar di Rusia, Maruto Nitimihardjo sebagai duta besar untuk Cina. Ali Sastroamijoyo dubes untuk Amerika Serikat. Kebetulan memang ketiganya berlatarbelakang sebagai politisi.
Namun Bung Karno, menggunakan hak prerogratifnya memilih ketiga politisi tadi bukan karena pertimbangan karena harus memberi mereka posisi dan jabatan. Melainkan karena ada sebuah misi khusus kenegaraan antara Indonesia dengan negara tertentu, sehingga kemudian menunjuk mereka bertiga sebagai duta besar. Karena sesuai dengan karakter dan kepribadian khusus ketiganya.
Adam Malik, Ali Sastro dan Maruto, meski berlatarbelakang politisi partai, namun Bung Karno sudah mengenal rekam jejak mereka bertiga sebagai para petarung di dunia politik, menggauli dunia politik dengan segala suka dan dukanya sejak mereka bertiga masih muda. Disamping ketiganya juga memiliki bakat-bakat khusus yang menyertai riwayat pergerakan politik mereka dari masa ke masa.
Adam Malik misalnya, meski seorang politisi karena bergiat di partai, namun passion sesungguhnya yang kemudian bisa kawin dengan dunia politik, adalah bakatnya sebagai seorang wartawan. Terbukti bahwa kelak sejarah pers mengenalnya sebagai salah seorang pendiri Kantor Berita Antara. Motto Adam Malik yang terkenal: Semua Bisa Diatur, menunjukkan dengan pas watak sejatinya yang tak ada kata menyerah dalam kamusnya. Segala kemungkinan bisa terjadi selama memang dengan sungguh-sungguh diperjuangkan.
Watak seorang petarung yang disertai kecerdasan politik untuk menembus berbagai rintangan, itulah yang mendorong Bung Karno menunjuk Adam sebagai duta besar kita di Uni Soviet. Waktu itu misi khususnya adalah, selain meminta ketegasan dukungan Moskow terhadap perjuangan Indonesia merebut kembali Irian Barat, juga untuk meminta bantuan militer yang cukup besar untuk mengimbangi kekuatan militer AS dan Eropa Barat. Misi ini dijalankan Bung Adam dengan sukses.
Di era Pak Harto, seringkali juga merekrut duta besar di sebuah negara dari aneka ragam profesi di luar karirnya sebagai diplomat Kemlu. Untuk menghadapi serangan agresif pers Australia, Suharto menunjuk mantan Kepala Kantor Berita Antara, August Marpaung sebagai duta besar. Pilihan Suharto terbukti jeli dan tepat. Komunitas pers Australia bisa dijinakkan berkat pendekatannya yang persuasif dan penuh empati terhadap komunitas media massa di negara Kanguru itu.
Sebagai duta besar untuk Belanda, Suharto menunjuk mantan Kepala Badan Intelijen Negara Letjen Sutopo Yuwono, juga dinilai cukup berhasil. Pak Topo, begitu sapaan akrab beliau, merupakan perwira tinggi angkatan darat yang menghayati betul dunia intelijen, karena merupakan salah satu murid angkatan pertama didikan Jenderal Zulkifli Lubis, perintis terbentuknya komunitas intelijen Indonesia. Sayangnya, dalam pergolakan politik pada 1974 yang bermuara pada meletusnya peristiwa Malari, Sutopo Yuwono dianggap masuk ke kubunya Jenderal Sumitro, Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban yang dituding bermaksud menggalang kekuatan di kalangan sipil dan militer untuk mendongkel Suharto.
Kubu Sumitro dan termasuk Pak Topo, kemudian tersingkir dari pentas politik. Pak Topo, mengingat bakat khususnya di dunia intelijen, rupanya dipandang Suharto berguna untuk dipasang sebagai duta besar RI di Belanda. Adapun Sumitro sebenarnya juga siap di-dubeskan oleh Pak Harto. Namun Pak Mitro menyadari kapastias dirinya sebagai tentara murni yang tidak punya bakat khusus sebagai diplomat atau keahlian khusus yang bisa mendukung perannya sebagai duta besar seperti keahlian khususu Pak Topo di bidang intelijen, maka Pak Mitro menolak secara halus tawaran Pak Harto.
Singkat cerita, posisi jabatan duta besar selain penting dan prestisius, juga diperuntukkan buat orang-orang yang punya bakat dan keahlian khusus, yang kemudian karena tenaga dan keahliannya tersebut dibutuhkan untuk memecahkan kebuntuan politik dari hubungan kita dengan suatu negara tertentu, maka dipilihlah dia sebagai duta besar yang berwenang penuh mewakili pemerintahan Indonesia di luar negeri.
Mereka bisa dari kalangan politisi partai, wartawan, pengusaha, perwira tinggi militer, dan tentu saja para diplomat karir Kemlu, yang mana profilnya dirasa sesuai dengan kebutuhan presiden untuk mewakilinya di luar negeri, oleh karena adanya misi khusus yang harus dijalankan.
Hendrajit
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit