Jakarta, Aktual.co — Pengamat Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam melakukan Penanaman Modal Negara (PMN) ke BUMN. Saat ini, banyak BUMN dalam keadaan terpuruk sehingga membutuhkan suntikan dana.

“Namun bila suntikan dana terlalu tiba-tiba dan BUMN diminta membuat proposal dalam jangka waktu singkat, akan sangat berbahaya,” ujarnya dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin (26/1).

Poputra menganalogikan kondisi ini seperti “praktik” di satuan kerja pemerintah daerah. Dengan pagu anggaran tertentu yang diberikan secara top down, perangkat daerah kemudian diminta membuat program dan kegiatannya. Akibatnya, program dan kegiatan yang dibuat hancur-hancuran tanpa mempertimbangkan hasil dan memunculkan berbagai moral hazard.

Menurut dia, pada BUMN tertentu yang selama ini mengelola dana terbatas, kemudian akan dikucurkan dana besar, akan kebingungan dalam membuat program dan kegiatan ke depan.

“Kemungkinan besar proposal yang dibuat awut-awutan. Akibatnya apa yang diinginkan tidak tercapai, bahkan memunculkan potensi korupsi, serta penghamburan uang negara. Mereka seharusnya diberi waktu yang cukup untuk merevisi tujuan dan strategi mereka sebelum membuat proposal dana kepada pemerintah sehingga cocok dengan tujuan jangka menengah dan panjang serta terkendali,” ungkap Poputra.

Dirinya melanjutkan bahwa untuk BUMN yang telah go public, suntikan modal pemerintah bukan tanpa masalah. BUMN yang telah go public tentu saja memiliki pemegang saham minoritas. Manakala pemerintah menambah modal, maka akan mendilusi porsi kepemilikan pemegang saham minoritas apabila BUMN tersebut tidak ikut menambah modal.

Pertanyaannya, kata dia, apakah BUMN setuju untuk menambah modal? Jika tidak, apakah BUMN rela terdilusi begitu saja? Kemungkinan besar tidak.

“Bisa saja mereka menarik dana dan bila dilakukan oleh pemegang saham institusi (terutama asing), maka dapat menimbulkan sentimen pasar yang negatif. Akibatnya dapat menurunkan harga pasar saham BUMN bersangkutan,” papar Agus.

Ia mengungkapkan, khusus untuk perbankan BUMN, di samping berdampak pada respons pemegang saham minoritas, PMN juga dapat mengganggu kinerja operasional dan keuangan bank-bank tersebut. Khususnya, jika perbankan itu tidak mampu melempar dana yang diterima ke pasar dalam bentuk kredit. Dalam kondisi suku bunga kredit yang tinggi saat ini, pemberian kredit bukan hal yang mudah sebab probabilitas kredit macet semakin tinggi.

Menurut Poputra, ini diperburuk oleh tuntutan pemerintah bahwa profit dan dividen harus meningkat.

“Diluar Bank Tabungan Negara (BTN) yang mendapat tanggung jawab dalam pembangunan rumah murah, bank-bank BUMN lain sebaiknya dibantu dengan melibatkan mereka dalam proyek-proyek infrastruktur yang akan dibangun pemerintah. Itu jauh lebih baik, tanpa mengorbankan pemegang saham minoritas dan mengurangi potensi permasalahan operasional dan keuangan mereka,” terang Poputra.

Ia menambahkan, untuk privatisasi pemerintah perlu berhati-hati dalam memilih BUMN yang akan diprivatisasi. Sebaiknya BUMN strategis seperti Pertamina tidak diprivatisasi. Apabila diprivatisasi, maka dalam keadaan sulit pemerintah tidak bisa dengan mudahnya menugaskan Pertamina demi kepentingan bangsa.

“Sebab pemerintah bukan lagi pemilik tunggal. Cukup sudah Indonesia kehilangan Indosat pada waktu lalu,” tandas Poputra.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka