Jakarta, aktual.com – Semua burung mencari tempat berlindung saat hujan. Tak demikian dengan sang pejuang. Elang menghindari hujan dengan terbang di atas awan.
Dimanakah elang berhibernasi di negeri ini? Mencarinya keempat penjuru mata angin, yang rampak terlihat hanyalah burung-burung yang suka berkicau menjambul saat cuaca cerah, namun segera mendekam saat mendung mengepung.
Bagaimana bisa memahami tali temali realitas, tanpa kemampuan mengamati keseluruhan hutan dari ketinggian penglihatan elang? Hidup di tengah kerumunan burung yang terbang rendah, daya pandang rabun jauh. Orientasi hidup sebatas berkerumun dalam penggalan horison, sejauh hinggap dari satu dahan ke dahan lain, sebagai cara menghindari masalah; tanpa mengenali sumber masalah dan keterkaitan antarmasalah, apalagi arah tujuan.
Tanpa keluhuran jangkauan penglihatan, kita tak bisa memetakan jalan ke depan. Pengembaraan hidup diarungi dengan peta buta, berbekal asal blusukan, terantuk dari satu batu sandungan ke rundungan yang lain. Tantangan ke depan disongsong dengan siasat pemadam kebakaran, tanpa kejelasan haluan perencanaan. Dengan begitu, apapun hasil yang dicapai terhindar dari cap gagal, karena dalam ketiadaan rencana seksama memang tak ada ukuran keberhasilan.
Cuma elang yang berani terbang sendiri, terbebas dari logika kerumunan. Kekesatriaan mendorong keberanian terbang menjulang. Kedalaman pengetahuan membekalinya wawasan jelajah, keunggulan aerodinamika memberinya karakter keseimbangan. Hanya elang pejuang yang memiliki keteguhan kejuangan, kekuatan karakter, kompas nilai dan ketajaman nalar pencerahan, yang bisa memandu burung-burung kecil keluar dari kesempitan kekerdilan menuju kejembaran keagungan.
Dari ketinggian penglihatan elang garuda, cakrawala kehidupan tampak terhampar luas, rangkaian aksi-reaksi terdeteksi, hakikat ancaman terbaca, semua realitas tersambung, jalan keluar terbentang. Di bawah terang-lapang fajar budi, semua warna menyatu, rasa bersambung, rezeki berbagi.
(Yudi Latif)
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto