Jakarta, Aktual.co — Wanita menurut Islam merupakan makhluk yang mulia dan mempunyai tugas, fungsi serta peranan berdasarkan kodratnya.
Namun, bila dikaitkan dengan emansipasi, perempuan sering berada dalam kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi dalam berkembang dan maju.
Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan “Tahrir Al-Marah”. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajat wanita dari masa pencampakan wanita di masa Jahiliah ke masa kemulaian wanita.
Semua sama di hadapan Allah SWT, yang membedakan mereka di hadapan Allah SWT adalah mereka yang paling bertaqwa. Taqwa dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.
Pemahaman emansipasi wanita yang berkembang saat ini mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM), menyerukan bahwa emansipasi wanita adalah menyamakan hak dengan kaum pria, padahal tidak semua hak wanita harus disamakan dengan pria.
Pertanyaannya, bagaimanakah emansipasi wanita dalam perspektif hukum islam?
Islam sangat memuliakan wanita. Al Quran dan Sunah memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, saudara maupun peran lainnya.
Bahkan, sejak dahulu Islam sudah memperbolehkan wanita untuk ikut bersosialisasi. Sejarah mencatat bahawa banyak Muslimah yang ikut andil dalam kegiatan bermasyarakat pada masa dahulu.
Namun demikian, mereka tetap menjaga batasan dimana pria dan wanita yang bukan muhrim tidak seharusnya begitu dekat. Misalnya, dalam gaya berbusana, para wanita muslimah tetap memegang teguh ajaran agama mereka dengan tetap memakai pakaian yang sopan dan menutup auratnya.
Mungkin saat ini banyak para wanita yang terpengaruh pemikiran Barat yang berpendapat bahwa wanita yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga adalah wanita yang tidak keren atau kuno dan kolot.
Padahal jika mereka benar-benar memahami agama, menjadi ibu rumah tangga saja bukanlah hal yang buruk, malah bisa dinilai sangat mulia.
Memang tak ada salahnya jika para wanita ingin berkarier seperti halnya dengan suami mereka.
Namun hal ini tentu ada syaratnya, wanita tersebut harus mendapatkan izin dari sang suami, dapat menjaga diri dari pandangan laki-laki yang bukan muhrimnya, misalnya tidak berdandan berlebihan dan tidak merubah kodratnya sebagai seorang wanita.
Dan, yang lebih penting adalah wanita tersebut bisa membagi waktunya antara berkarier dengan melayani suami dan ikut mendidik anak-anaknya.
Artikel ini ditulis oleh: