Jakarta, Aktual.co — Hendaklah seorang pimpinan memberikan kemudahan untuk para karyawan dalam mengerjakan kewajiban mereka kepada Allah SWT seperti salat dan puasa. Selain itu, janganlah membuat peraturan perusahaan yang bertentangan dengan hukum Allah SWT seperti, melarang jilbab dan sebagainya, atau membuat aturan yang memudahkan terjadinya perbuatan maksiat dan dosa seperti ikhtilat yang diharamkan antara laki-laki dan perempuan.

Seorang pimpinan hendaknya mengetahui bahwa seorang karyawan yang beragama lebih dekat kepada kebaikan. Sebab, dia bekerja atas dasar keikhlasan, selalu merasa diawasi oleh Allah SWT, dan lebih amanah dalam menjalankan peraturan. Orang yang paling bisa dipercaya adalah mereka yang suka melakukan salat.

Umar bin Khatab berkata kepada para Walinya, “Ingatlah bahwa perkara yang paling penting bagiku adalah salat. Ingatlah bahwa tidak ada yang paling berharga dan tidak ada keberuntungan dalam Islam bagi orang yang tidak salat.” Ia menambahkan, “Siapa yang kehilangan salatnya, maka rusak pula perbuatan yang lainnya.”
Setiap pimpinan perusahaan hendaklah memilih karyawan dengan sebaik-baiknya.

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash:26).

Seorang pemimpin dibebani amanah dan tanggung jawab yang harus ia laksanakan untuk mencapai tujuan dari organisasi yang ia pimpin. Dalam islam setiap manusia yang terlahir di muka Bumi ini yakni seorang pemimpin yang memimpin umat ini kepada Allah SWT. Semakin banyak orang yang dipimpinnya semakin berat pula beban yang dipikulnya. Dalam sebuah Hadist Rasulullah saw bersabda:

كلّكمراعوكلّكممسؤولعنرعيّته

Artinya: setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan diminta pertanggungjawaban tentang bapa yang ia pimpin.

Kepemimpinan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya terlebih dengan ambisius untuk mendapatkannya. Kenapa? Karena dikhawatirk dia tidak mampu mengemban amanah tersebut kemudian mungkin mempunyai niat lain atau ingin mengambil keuntungan yang banyak ketika ia telah mempunyai kekuasaan.

Dalam hal ini, Abu Dzar RA berkata, ”Aku bertanya,” Wahai Rasulullah SAW, maukah engkau mengangkatku memegang satu jabatan?” kemudian Rasulullah saw menepuk bahuku dengan tangannya sambil bersabda:

”Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau ini lemah dan sesungguhnya itu (jabatan) adalah amanah. Dan, sesungguhnya ia pada hari kiamat menjadi kesengsaraan dan penyesalan, kecuali yang mengambilnya dengan haqnya dan menyempurnakan apa yang menjadi wajib keatasnya dan di atas jabatan itu.”

Seorang pemimpin juga harus memberikan pemahaman kepada anggotanya bahwa amanah yang dipikul ini akan dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Apakah ketika mengemban amanah pernah mendzolimi orang atau tidak. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

”Apabila seorang hamba (manusia) yang diberikan kekuasaan rakyat mati, sedangkan di hari matinya ia telah mengkhianati rakyatnya, maka Allah swt mengharamkan surga kepadanya.” (muttafaqun ’laih)

Sebelum memberi amanah pemimpin  harus melihat kapasitas yang akan diberi amanah tersebut. Karena amanah haruslah diberikan kepada orang yang kompeten atasnya kalau tidak maka akan menimbulkan ketidak sampainya tujuan bahkan mungkin menimbulkan kerusakan.

Dalam sebuah Hadist dikatakan ”Kalau seandainya perkara itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya.”

Tidak hanya pemimpin, sebagai bahawan pun mempunyai etika yang harus dilakukan kepada pemimpin yang memmimpinnya.

Dimana bawahan harus taat pada pemimpin yang Islami: Nabi SAW bersabda,  “Barang siapa yang taat kepadaku maka ia telah taat kepada Allah SWT, dan barang siapa yang tidak taat kepadaku maka berarti tidak taat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada pimpinan (yang sunnah) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yang tidak taat kepada pimpinan (yang sunnah) maka berarti ia telah tidak taat kepadaku.”

Artikel ini ditulis oleh: