Agus Widjajanto, pemerhati masalah sosial, budaya, hukum, politik, dan sejarah bangsa. Aktual/DOK PRIBADI

Etika dan moral adalah dua konsep yang saling berkaitan erat dalam mengatur perilaku manusia. Etika sendiri adalah tata cara dan ilmu yang mengatur dan mempelajari nilai-nilai moral, sedangkan moral adalah pedoman perilaku yang dianut oleh setiap individu dalam bermasyarakat dan berbangsa.

Etika merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai moral, norma-norma, dan prinsip-prinsip yang mengatur serta membimbing perilaku manusia.

Dalam kaitan berbangsa dan bermasyarakat, baik sebagai individu maupun dalam profesi apa pun dalam kehidupan yang bersifat formal dan terstruktur, terdapat kode etik baik tertulis maupun tidak tertulis. Kode etik ini bersifat teoritis dan filosofis sebagai pedoman yang harus dijalani agar dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat tidak timbul masalah serta gesekan yang berujung pada pelanggaran aturan yang telah disepakati bersama, baik dalam hukum privat maupun hukum publik suatu negara. Termasuk di dalamnya adalah hukum adat yang berlaku dalam masyarakat di negara tersebut.

Etika dan moral selalu berkaitan, layaknya dua sisi mata uang, yang dalam aturannya bersifat umum dan universal dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Etika dan moral juga bersifat evolusioner dan dapat mengalami perubahan seiring waktu serta perkembangan zaman. Namun, keduanya tetap melekat dan digunakan dalam membimbing praktik profesional, baik dalam dunia medis, bisnis, politik, maupun pergaulan antarindividu dalam masyarakat.

Berbicara tentang etika, seharusnya pada masa reformasi ini terjadi perbaikan moral dan etika, baik di kalangan masyarakat Indonesia maupun para pejabat publik dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara. Namun, pasca-reformasi dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, yang kala itu dianggap sebagai rezim penuh kediktatoran dan kolusi, justru kondisi saat ini lebih parah. Budaya unggah-ungguh, saling menghormati, asah asih asuh antar sesama, gotong royong, dan tolong-menolong perlahan hilang, bahkan sengaja dihilangkan melalui sistem pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

Kini, anak-anak kadang tidak lagi menghormati orang tua, murid tidak menghormati guru, mahasiswa tidak menghormati dosen. Fenomena ini terjadi secara masif akibat contoh buruk yang dipertontonkan oleh para pemimpin dalam beretika, baik secara politik maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini semakin diperparah dengan pemberitaan di media elektronik dan media sosial, yang akhirnya membuat masyarakat menjadi apatis dan cenderung bertindak semaunya dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada akhirnya berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Runtuhnya sebuah negara selalu dimulai dari dalam, yakni hancurnya moralitas para pemimpin, agamawan, politisi—baik di eksekutif maupun legislatif—serta penegak hukum dalam yudikatif. Ketika moralitas mereka hancur, maka akan berimbas pada berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara: keluarga, badan usaha, sumber daya alam, hingga hukum yang seharusnya menjadi pilar negara hukum (Rechtsstaat).

Namun, kehancuran moral bukan semata-mata kesalahan para pemimpin, melainkan juga kesalahan setiap kepala rumah tangga, kaum pendidik dari tingkat dasar hingga tinggi, serta para agamawan yang gagal memberikan pencerahan untuk menciptakan insan yang religius. Sayangnya, nilai-nilai luhur seperti Tut Wuri Handayani dan Ing Ngarsa Sung Tuladha mulai ditinggalkan dalam dunia pendidikan.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano