Eva Kusuma Sundari (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Komunitas LSM yang tergabung dalam Kaukus Perempuan Parlamen Indonesia (KPP-RI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Gerakan Ekonomi Solidaritas Indonesia (GESOLIN) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melibatkan parlemen setiap ada penandatanganan frea trade agreement (FTA).

Yang terbaru, kunjungam Jokowi ke Uni Eropa selama sepekan juga diakhiri dengan ditandatanganinya FTA dengan Uni Eropa.

Menurut Koordinator KPP-RI, Eva Sundari, tidak terlibatnya publik dalam proses negosiasi FTA juga diakibatkan oleh adanya ketimpangan hukum. Memang selama ini, Undang-undang Perjanjian Internasional No.24 Tahun 2000 hanya menjadi domain Pemerintah, sehingga peran Parlemen dalam negosisasi FTA sangat lemah.

“Apalagi tidak ada keterbukaan informasi kepada publik dari Pemerintah, sehingga publik tidak tahu dampak yang akan ditimbulkan FTA terhadap kelangsungan hidupnya,” terang dia dalam keterangan pers, Senin (25/4).

Menurutnya, parlemen tidak pernah dilibatkan dalam proses perundingan FTA, bahkan bentuk pengesahan FTA hanya sebatas Keputusan Presiden (Keppres). Keterlibatan DPR hanya diletakkan pada proses ratifikasi ataupun konsultasi ketika FTA sudah ditandatangani.

“Padahal peran legislasi nasional DPR akan berkontribusi terhadap penerapan FTA pasca ditandatangani,” ujarnya.

Misalnya seperti rencana negosiasi Indonesia-Uni Eropa (EU CEPA), Pemerintah Indonesia tidak pernah melibatkan Parlemen sejak awal proses negosiasi, ataupun dalam menyusun Scooping Paper Perundingan Indonesia-EU CEPA. Sehingga, tidak ada pembahasan strategi perlindungan terhadap rakyat.

UU Perjanjian Internasional No.24/2000 dalam Pasal 9 ayat (2) menyebutkan, pengesahan Perjanjian Internasional dapat dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden (Keppres).

Namun, Perjanjian Internasional yang disahkan dengan Undang-undang hanya dibatasi pada kategori Perjanjian Internasional yang hanya terkait dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, keamanan negara, perubahan atau penetapan batas wilayah, kedaulatan negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, dan pinjaman atau hibah luar negeri.

“FTA tidak masuk pada kategori perjanjian internasional yang harus disahkan dengan Undang-Undang. Sehingga selama ini, banyak FTA yang mengikat Indonesia hanya berupa Keppres,” keluh dia.

Dia memberi contoh, seperti ASEAN-China FTA dengan Keppres No.48 tahun 2004, ASEAN-Jepang FTA dengan Perpres No.50 Tahun 2009, ataupun ASEAN-Australia/NZ FTA dengan Perpres No.26 Tahun 2011.

Dewi Hutabarat dari GESOLIN menambahkan, tidak adanya peran DPR dalam negosiasi FTA dalam UU Perjanjian Internasional telah bertentangan dengan amanat Konstitusi UUD RI 1945.

“Padahal dalam pasal 11 UUD RI 1945 disebutkan, dalam membuat Perjanjian Internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR,” papar dia.

Untuk itu, kata dia, pihak KPP-RI, MPI, IGJ, dan GESOLIN mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk, pertama, tdak melakukan negosiasi Indonesia-EU CEPA dan Perjanjian TPP serta menghentikan seluruh proses negosiasi FTA yang sedang berjalan, mengingat pengesahahan Perjanjian FTA telah bertentangan dengan UUD RI 1945.

Kedua, melakukan keterbukaan informasi publik terhadap dokumen-dokumen perundingan FTA serta melibatkan publik dalam membahas rencana negosiasi maupun dalam proses negosiasi FTA.

“Dan ketiga, melakukan assessment FTA terhadap potensi pelanggaran Konstitusi dan HAM, dalam upaya menyusun langkah perlindungan bagi rakyat,” tandas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan