Presiden Joko Widodo meninjau langsung operasi tangkap tangan di Kementrian Perhubungan oleh tim gabungan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya. (ilustrasi/aktual.com)
Presiden Joko Widodo meninjau langsung operasi tangkap tangan di Kementrian Perhubungan oleh tim gabungan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Kamis (20/10) besok, tepat dua tahun sudah berkuasa. Dua tahun lalu, Jokowi-JK, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia saat ini biasa disebut, berjanji akan meneguhkan kembali jalan ideologi Pancasila dan Trisakti. Visi besar yang dibawa adalah untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong royong.

Namun nampaknya hingga saat ini, jalan ideologi yang dijanjikan, ibarat kata hanya menjadi “janji palsu” yang digunakan untuk menarik simpati rakyat, mendulang suara, dan memenangi Pemilihan Presiden 2014. Tak ubahnya kepemimipinan sebelumnya, harapan-harapan yang dijanjikan tak pernah kunjung terwujud.

Demikian disampaikan  Ketua Umum Ekselutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND), Vivin Sri Wahyuni dalam siaran pers yang diterima aktual.com, Rabu (19/10).

“Jalan Pancasila yang dijanjikan sebagai peletak dasar dan arah dalam pembangunan nyatanya tidak sama sekali dijalankan. Pembangunan ekonomi yang seharusnya didasarkan pada rasa kemanusiaan, kebangsaan, dan demokrasi ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang utama kedaulatan dalam mengelola perekonomian negara nyatanya jauh panggang dari api. Hal itu terbukti dengan masih parahnya konflik agraria yang terjadi belakangan ini. Konflik-konflik agraria yang memperhadapkan rakyat dengan para cukong, militer, aparat keamanan, maupun birokrasi korup,” tegas Vivin.

Menurutnya, Pemerintahan Jokowi-JK masih sangat bergantung pada kekuatan modal swasta, terutama modal asing. Bahkan semakin luas dalam membuka pasar bagi produk-produk asing yang mengakibatkan hancurnya industri dalam negeri. Hal itu terbukti dengan semakin massifnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendasarkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan barang-barang impor.

“Parahnya, Pemerintahan yang dijalankan keduanya juga semakin tunduk dan patuh terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional, tak berdaya terhadap modal swasta, terutama asing. Hal itu terbukti dalam ketidakberdayaan Pemerintah dalam menghadapi PT Freeport Indonesia yang nyata-nyata tidak patuh terhadap Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini UU No. 04 Tahun 2009 Tentang Minerba,” ungkapnya.

Kemudian lanjut Vivin, di dalam pasal 103 ayat 1 UU Minerba sangat jelas disebutkan bahwa operasi produksi perusahaan tambang wajib melakukan pengolahan dan pemurniaan (smelter) di dalam negeri. Selanjutnya, sebagaimana termuat di dalam pasal 170 menyebutkan bahwa batas waktu pembangunan smelter adalah 5 (lima) tahun sejak UU tersebut diundangkan. Dengan kata lain, smelter sudah seharusnya dibangun pada tahun 2014. Tetapi hingga saat ini, Freeport masih belum melakukan amanat perundang-undangan tersebut.

“Sedangkan Pemerintah sendiri awal bulan ini, melalui Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan telah melakukan finalisasi terhadap revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Di dalam PP tersebut (PP 1/2014) dinyatakan bahwa relaksasi ekspor konsentrat atau bahan tambang mentah dibatasi sampai 11 Januari 2017. Revisi PP tersebut memperpanjang relaksasi ekspor konsentrat antara 3 sampai tahun sejak PP baru diundangkan. Artinya Freeport dapat melakukan eksport konsentrat hingga 2021. Padahal, pada tahun 2021 adalah berakhirnya masa kontrak karya Freeport di Indonesia,” urai dia.

Kelonggaran yang diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut membuktikan bahwa Pemerintahan Jokowi-Jk ternyata tidak berkutik dan tunduk terhadap modal asing. Pemerintahan saat ini tidak sama sekali menjalankan Pemerintahan yang berdaulat dan mandiri dalam mengelola perekonomiannya sendiri. Padahal banyak kalangan menganggap bahwa Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ekspor komoditas mentah untuk mendorong perekonomian. Karena harga komoditas mentah masih rendah dan diperkirakan belum segera meningkat beberapa tahun ke depan.

“Bagi kami, dengan momentum melemahnya harga komoditas dan tidak menentunya ekonomi dunia saat ini merupakan momentum tepat bagi Indonesia untuk melakukan penataan ulang terhadap pengelolaan ekonominya. Perekonomian Indonesia harus segera dikembalikan dengan menggunakan pendekatan penguatan industri nasional. Industrialisasi yang berpedoman kepada pasal 33 UUD 1945. Sebab pasal 33 tersebut berbicara tentang: semangat untuk melikuidasi corak kolonial dalam perekonomian bangsa dan corak feodal dalam persoalan agraria; kedaulatan nasional atas sumber daya alam dan cabang-cabang strategis; keterlibatan rakyat sebagai tenaga pokok perekonomian; serta demokrasi ekonomi dalam pengelolaan ekonomi nasional,” jelas Vivin.

Terakhir kata Vivin, bukankah sejak awal hal-hal tersebut di atas adalah janji-janji Presiden Jokowi di dalam kampanye Pilpres 2014. Sejalan dengan hal itu, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menuntut kepada Pemerintahan Jokowi-Jk untuk kembali kepada jalan Pancasila dan Trisakti.

“Bangun Industri Nasional yang berlandaskan Pasal 33 UUD 1945, dan cabut Kontrak Karya Freeport,” pungkas Vivin.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan