Jakarta, Aktual.com — Peneliti dari Setara Institute, Halili Hasan menyampaikan, analisis data sekunder dan indepth-interview yang telah dilakukan oleh pihaknya di tahun 2015.

Menurut ia, bisa dirumuskan beberapa data objektif yang terkait dengan evaluasi pemerintahan Joko Widodo dalam isu kebebasan beragama atau berkeyakinan pada tahun 2015.

Dan evaluasi tersebut dikerucutkan menjadi empat level yaitu, standing position Presiden dalam isu kebebasan beragama atau berkeyakinan pada tahun 2015, implementasi Nawa Cita dalam agenda pembangunan, kebijakan dan regulasi di tingkat ministrial, implementasi dalam kebijakan daerah, dan impak pada tataran sosial.

Ia menjelaskan, bahwa secara personal, Jokowi sendiri terlihat lebih memilih sikap (standing position, red) personal yang cukup baik dalam isu kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang tahun 2015.

Di sana terlihat sebuah penyataan keras dari Presiden terutama terkait, kasus Tolikara, dan Aceh singkil yang disampaikan ke publik.

Salah satu pesan yang sangat kuat mengenai standing position-nya, kata ia, dalam isu agama atau keyakinan.

“Jokowi menegaskan sudah saatnya bergerak meninggalkan budaya kultur yang penuh kepalsuan, kemunafikan, dan mementingkan diri sendiri!. Ini dinyatakan Presiden Jokowi dalam Perayaan Natal 2015 di Nusa Tenggara Timur. Karena ia mengidentiifikasi bahwa perayaan keagamaan selama ini hanyalah seremonial dan sandiwara belaka,” jelas ia kepada Aktual.com, di Jakarta, baru-baru ini.

Namun perlu yang dicatat, menurut ia, standing position Jokowi tentu menjadi tidak banyak berarti jika tidak mampu diimplementasikan dalam agenda pembangunan dan kebijakan pemerintahan yang dipimpinnya.

“Dalam hal kebebasan beragama atau berkeyakinan, Jokowi tentu tidak ingin dicatat sebagai orang baik yang tidak mampu membangun pemerintahan yang baik,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh: