Presiden Joko Widodo (kanan) menemui Menteri Perdagangan dan Industri Rusia Denis Manturov (kiri) saat kunjungan kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (8/1). Kedua pihak membicarakan kerjasama bidang ekonomi, investasi pertambangan, dan pariwisata dengan pembebasan bea visa bagi warga Indonesia, serta menyampaikan surat Presiden Rusia Vladimir Putin terkait KTT ASEAN-Rusia yang akan digelar di Sochi, Rusia pada Juni mendatang. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/nz/16

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah akan meneken kerja sama perdagangan bebas (FTA) dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang rencananya akan dirampungkan akhir tahun 2016 ini.

Pasalnya, dari banyak FTA yang sudah dijalin tidak ada yang menguntungkan rakyat Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus mengevaluasi berbagai komitmen perdagangan bebas yang mengikat Indonesia itu.

Apalagi memang perundingan kerja sama RCEP itu sangat tertutup dan tidak transparan.

“Selama ini perundingan kerjasama ekonomi internasional yang dilakukan oleh pemerintah tidak pernah demokratis bagi rakyat. Justru yang terjadi sangat elitis dan hanya melibatkan pebisnis dalam memberikan masukan,” tutur Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, di Jakarta, Jumat (26/8).

Perundingan RCEP dimulai sejak tahun 2012 lalu, hingga saat ini sudah mencapai putaran perundingan ke-14 yang baru saja berlangsung pada 15-19 Agustus 2016 di Vietnam. Putaran perundingan RCEP selanjutnya akan digelar di China pada 11-22 Oktober 2016.

RCEP ini sebagai kerjasama mega trading block yang dibangun oleh negara anggota ASEAN + 6 negara, yaitu China, Korea Selatan, Australia, New Zealand, India, Jepang.

Menurut Rachmi, dari seluruh putaran perundingan yang dilakukan, hanya ada sedikit informasi mengenai perundingan RCEP. Pasalnya proses pertemuannya sendiri cenderung tertutup.

“Jadi isi perundingan FTA itu bukan hanya bicara ekspor dan impor. Tetapi ada aspek sosial dan hak-hak publik luas yang juga diatur di dalamnya, baik terkait isu akses terhadap obat murah hingga isu lingkungan,” jelas dia.

Belum lagi, kata dia, jika FTA itu mewajibkan merevisi seluruh undang-undang nasional yang berdampak luas kepada rakyat. “Sehingga sangat tidak adil jika rakyat malah tak dilibatkan dalam proses perundingan,” tegas Rachmi.

Puspa Dewy dari Solidaritas Perempuan menambahkan, kepentingan rakyat, termasuk kepentingan perempuan, harus jadi yang utama dalam perundingan RCEP ini. Apalagi pertumbuhan ekonomi yang memperlebar ketimpangan di Indonesia mesti jadi peringatan yang serius.

“Sehingga pemerintah bisa mengevaluasi berbagai komitmen perdagangan bebas yang mengikat Indonesia,” ujarnya.

Untuk itu, tegas Puspa, pemerintah ikut meneken kerja sama ini hanya karena ikut-ikutan negara lain saja. “Makanya, kami minta pemerintah jangan latah dengan tarik-menarik kepentingan negara maju dan perusahaan trans nasional yang berkedok kerjasama ekonomi,” ujarnya.

Berdasarkan bocoran yang dipublikasi oleh Wikileaks, diketahui bahwa salah satu bab dalam RCEP juga mengatur soal investasi. Dalam bab investasi tersebut diatur mengenai mekanisme Gugatan Investor Asing terhadap Negara atau dikenal dengan Investor State Dispute Settlement (ISDS).

Mekanisme ISDS ini merupakan salah satu isu yang paling kontroversial dalam konteks perdagangan bebas. Soalnya, ISDS membuka peluang intervensi kebijakan dan hukum negara oleh investor.

Oleh karena itu, kalangan dari Masyarakat Sipil Indonesia ini meminta pemerintah untuk mengkaji ulang perundingan itu. Sebab publik sendiri sangat berkepentingan untuk mengetahui isi perundingan dan bisa memberikan masukan.

“Karena jika pada akhirnya perjanjian ini disepakati, maka pelaksanaannya akan berdampak luas terhadap publik, karena menyangkut hak-hak dasar publik,” tandas Rachmi lagi.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan