Industri Kelapa Sawit (Ant.)

Jakarta, Aktual.com – Investor yang bernaung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia di Provinsi Riau mengeluhkan maraknya praktik ilegal penampungan minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil/CPO), yang kerap disebut “kencing CPO” di daerah itu.

“Keberadaan penampung ilegal ini jelas terlihat, namun seperti tak terjamah oleh hukum,” kata Pelaksana Tugas Ketua Gapki Riau, Saut Sihombing, kepada wartawan di Pekanbaru, Kamis (11/8).

Ia mengungkapkan, jalan menuju Pelabuhan Dumai merupakan salah satu titik “menjamurnya” praktik pembajakan CPO. Menurut dia, aktivitas “kencing CPO” ini sudah terjadi sejak lama dan sekarang makin marak.

Ia mengatakan, pihaknya sudah berupaya memerangi “kencing CPO” termasuk dengan melaporkannya ke Kepolisian Daerah Riau. Namun, pelaku kejahatan tersebut tidak berhenti, bahkan diduga ada banyak pihak yang terlibat dalam bisnis pencurian ini, tak terkecuali oknum supir pabrik kelapa sawit (PKS) hingga oknum aparat.

“Istilahnya (ada) mafia atau toke CPO,” katanya.

Informasi yang didapatkan dari anggota Gapki Riau, modus kejahatan ini melibatkan “kaki-tangan” mafia CPO dengan oknum supir dan kernet mobil tangki CPO. Lokasi penampungan di Jalan Lintas Timur Sumatera disembunyikan dengan warung, namun di belakangnya terdapat tenda untuk menutupi kolam maupun drum untuk menampung CPO. Kapasitas kolam tampung biasanya berkisar 6-8 ton.

Mereka mengincar mobil tangki CPO penuh muatan dari pabrik kelapa sawit menuju Dumai, Medan, dan Belawan di Provinsi Sumatera Utara. Mereka beraksi pada pagi hari hingga pukul 11.00 WIB, dan malam hari sampai pukul 02.00 WIB.

Kemudian anggota mafia di lokasi penampungan, yang kerap disebut kepala lokasi (KPL), menghubungi supir truk tangki untuk singgah dan mengeluarkan muatan alias “kencing CPO” di tempat itu. Oknum supir menyetujui karena tergiur uang, tapi ada juga yang terpaksa menurut karena ancaman dan intimidasi dari mafia CPO.

Supir truk tangki yang sudah bekerja sama dengan mafia CPO mendapat bayaran dari KPL sebesar Rp4.000 per kilogram (Kg). Volume “kencing CPO” beragam, rata-rata sebanyak 130 Kg.

Setelah kolam sudah penuh CPO, mobil tangki milik “toke” akan datang menjemput.

Sementara itu, untuk modus dengan drum, yakni memindahkan langsung CPO dari tangki ke drum berkapasitas 100-160 Kg. Cara seperti ini lebih sulit terdeteksi karena lokasinya berpindah-pindah.

Praktik ilegal CPO ini menguntungkan karena mafia atau “toke” CPO menjual hasil curian mereka ke pihak lain dengan harga sekitar Rp6.000 per Kg.

Mereka selama ini juga memanfaatkan celah kebijakan perusahaan terkait batas toleransi selisih penyusutan.

Rata-rata volume mobil tangki berkisar antara 25 hingga 35 ton, namun tonase setiap mobil tangki ditentukan oleh masing-masing manajemen pabrik kelapa sawit sesuai tingkat penyusutan akibat penguapan selama di perjalanan.

“Dampak penampungan ilegal ini tak terlalu besar pengaruhnya ke kuantitas produksi CPO dalam negeri. Tapi, citra mutu produk CPO asal Indonesia menjadi buruk. Apalagi maraknya jual beli CPO untuk ekspor dipasar gelap,” kata Saut Sihombing.

Akhirnya, dampak praktik ilegal CPO ini berdampak negatif ke pengusaha, petani sawit dan juga negara. Ia mengatakan Indonesia yang kini memproduksi sekitar 32 juta ton CPO setahun, akan terus disudutkan dengan tudingan dan “kampanye hitam” dari penampungan ilegal, dan belum lagi isu lingkungan lainnya.

“Tentu, kualitas CPO kita dipertanyakan. Apalagi sekarang permintaan pasar menurun, tapi produksi kita malah naik. Dan memang harga CPO juga naik,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Eka