Menteri BUMN Erick Thohir.
Menteri BUMN Erick Thohir.

Jakarta, aktual.com – Bukan isu baru kalau BUMN sejak masa orde baru dibuat sebagai sapi perahan. Penunjukan direkturnya kental dengan aroma politik, bahkan mereka wajib setor ke partai politik. Belum lagi komisaris-komisarisnya dipilih untuk menjaga aset partai-partai politik itu.

BUMN meski susunya terus diperah, tapi badannya terus digemukkan. Dibuatlah anak-anak perusahaan BUMN untuk mencuci uang supaya tidak terdeteksi korupsi. Dan semakin lama, BUMN semakin gemuk, tetapi di dalamnya kering kerontang. Mereka sudah tidak mampu lagi bersaing di dunia internasional karena sibuk dengan setoran.

Tahun 2017, Presiden Jokowi menemukan ada 118 BUMN di Indonesia. Dan yang bikin geleng-geleng kepala, anak perusahaan mereka saja ada sekitar 800 perusahaan, mulai anak, cucu, dan cicit perusahaan. Dan anak-anak perusahaan ini malah banyak yang bergerak di bidang yang mereka tidak kuasai.

Ada perusahaan minyak, malah bisnis hotel. Ada perusahaan gas yang bisnis laundry. Dan bisnis-bisnis anak perusahaan ini harus dibangun, karena di induknya sendiri sudah susah disedot susunya karena kurus kering. Selain itu, anak-anak BUMN itu dipakai sebagai tempat parkir orang-orang politik dan yang dianggap berjasa di dunia politik.

Jokowi sebenarnya sempat berharap pada Rini Soemarno dulu, untuk memulai menjadikan BUMN sebagai badan usaha yang ringkas, efisien dan efektif. Bukan hanya bodinya yang diperbesar, tetapi prestasinya yang harus besar.

Malu dong sama negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang sudah mendunia. Indonesia kok cuma berani main di kandang. Padahal dari segi luas negara dan jumlah penduduk, kita ini segala-galanya di atas mereka, tetapi di skala prestasi dan valuasi kita ini kayak taman kanak-kanak dibandingkan mereka.

Sayangnya Rini tidak mampu menjawab apa yang diinginkan Jokowi, meski Jokowi juga sudah melindungi dia dari serangan politik. BUMN di bawah Rini Soemarno masih gemuk, bahkan ada BUMN yang anak perusahaannya sampai 60 buah. Kalau gemuk dan lamban begitu, bagaimana bisa bikin super holding? Yang ada malah yang tidak berprestasi membebani BUMN yang bagus-bagus.

Dan di periode kedua ini, Jokowi kembali melakukan terobosan dengan memilih Erick Thohir sebagai Menteri BUMN. Pertimbangan Jokowi sederhana. Erick orang profesional, bukan orang partai, dia sudah terbukti berhasil di skala bisnis global, orang swasta yang paham bagaimana cara mengelola perusahaan.

Setidaknya harapan Jokowi, Erick Thohir akan membawa nafas baru dalam pengadaan BUMN supaya makin bersinar di dunia internasional. Dan Erick pun memulai gebrakannya. Dia kemudian memangkas, membongkar, merevisi kembali bentuk perusahaan.

Itu bukan pekerjaan kecil pastinya, tetapi pekerjaan yang sangat besar. Karena Erick harus mampu mengambil keputusan terhadap ratusan perusahaan, di mana sebagian di antaranya adalah perusahaan multinasional.

Dan satu yang ia harus lakukan agar BUMN ramping dan efektif, adalah memangkas perusahaan mulai induk, anak, cucu, sampai cicit. Yang masih bisa digabung, digabungkan dengan perusahaan yang lebih besar. Yang tidak jelas peruntukannya apa, bisnis kerjanya keluar dari bisnis utama, atau hanya jadi tempat kumpulnya para kecoak, dilikuidasi sekalian.

Target Erick Thohir, BUMN kita kelak akan menjadi 80 atau bahkan 70 perusahaan saja, tetapi besar dan berisi. Anda bisa bayangkan selama ini, orang yang memegang BUMN pasti akan diserbu para partai politik dan organisasi yang merasa berjasa. Mereka pasti berusaha keras menitipkan orang-orangnya ke dalam, entah itu sebagai direksi atau juga komisaris.

Politik kita memang masih politik kompromi, harus ada keseimbangan antara idealisme dan realitas politik. Kalau enggak, ya siap-siap saja diserang habis-habisan yang berakibat sibuk menangkis serangan, bukannya sibuk bekerja.

Erick Thohir juga begitu. Satu sisi, untuk mencapai tujuan menjadi BUMN yang profesional dan berskala global, dia harus mencari direksi-direksi yang mumpuni. Dan dia juga harus mampu mengakomodir beberapa pesanan supaya keseimbangan politik tetap terjaga. Dengan begitu, dia bisa bekerja. Mirip-mirip sama Jokowi pada masa awal pemerintahannya, yang selain idealisme dan tujuan jangka besarnya terjaga, dia juga harus kompromi politik supaya bisa bekerja. Ini realitasnya yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus diterima.

Ketika Erick mulai melakukan bongkar pasang atau bahkan menciutkan jumlah perusahaan BUMN, pasti ada yang dikorbankan. Mereka yang dulu dapat jatah besar di era Rini Soemarno, harus menghadapi kenyataan tersingkir. Dan yang biasanya diam saja, langsung teriak ke mana-mana. Pada intinya sebenarnya adalah masalah jatah yang berkurang dari biasanya.

Politik kita memang memuakkan. Tetapi politik juga adalah kendaraan untuk menjadikan kita bangsa yang besar. Kita ada dalam fase transformasi yang butuh penyesuaian. Tidak bisa ekstrem memimpin negara ini, harus setahap demi setahap mengubah mental dari yang buruk menjadi sedikit lebih baik.

Jadi saya paham kenapa banyak sekali yang menyerang Erick Thohir belakangan ini. Seandainya dia mau main aman saja, tentu tidak banyak suara negatif ke dia. Masalahnya dia dapat tugas dari Jokowi untuk mereformasi BUMN menjadi perusahaan multinasional dan untuk itu dia harus siap berhadapan dengan orang-orang yang tidak puas dengan apa yang dia lakukan.

Meski pasti tidak sempurna, tapi yang saya lihat sementara ini, Erick Thohir tetap berada di jalurnya. Dia juga mendapat restu Jokowi dan dilindungi dari serangan-serangan politik yang panahnya diarahkan langsung kepadanya. Apalagi posisi Menteri BUMN adalah posisi strategis untuk kembali menjadikannya sapi perahan. Tahun 2024 nanti banyak partai yang butuh sumber dana untuk memulai pertarungan.

Poin saya cukup, selama Jokowi memberi restu, saya akan terus menjaganya. Dan di sini kita akan melihat banyak karakter yang asli bermunculan, ketika periuk nasinya mulai digoyang.

Politik itu menarik, tetapi jangan terlalu baper. Kalau kata Don Corleone di film mafia Godfather, “Its just business, nothing personal.” Semua itu hanya permainan.

Oleh : Denny Siregar, penulis buku “Tuhan dalam Secangkir Kopi”