Sehingga, kata dia, jika bentuknya peraturan presiden (Perpres), ketentuan itu tidak hanya dituntut transparan dalam mengatur pola, mekanisme, dan prosedur redistribusi lahan saja.

“Akan tetapi, harus mampu menyelesaikan berbagai konflik agraria karena banyak area perkebunan yang izinnya tumpang tindih dengan kehutanan,” papar dia.

Untuk itu, kata dia, perlu ada regulasi yang ketat terkait kepemilikan lahan ini. Sehingga kriteria tanah yang berhak mendapatkan sertifikat itu harus jelas.

Menurutnya, di era sebelumnya yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agenda redistribusi tanah sebesar 8,15 juta hektar dalam kawasan hutan yang tergolong Hutan Produksi Konversi (HPK) di 474 lokasi di 17 provinsi, ternyata tak efektif.

“Faktanya, agenda tersebut tidak berjalan. Danndi era Jokowi pun tak ada perkembangan sama sekali,” pungkas Bhima.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka