# Lelang WK Migas Sepi Peminat?

Pemerintah menyadari bahwa yang harus dilakukan adalah mendorong investasi sektor hulu migas diantaranya untuk ekplorasi agar terjadi peningkatan reserves replacement ratio (RRR). Persoalannya beberapa tahun belakangan ini harga minyak dunia sedang tidak bergairah bagi pelaku industri migas, sehingga lelang WK migas yang ditawarkan oleh pemerintah pada tahun 2015 dan 2016 tidak berujung pada komiten investasi dan ekplorasi.

Namun tidak juga tepat bila faktor harga minyak dunia yang anjlok dijadikan satu-satunya alasan penghambat investasi hulu migas Indonesia, faktanya pada saat bersamaan, beberapa negara lainnya masih mampu mempertahankan pertumbuhan investasi hulu migas. Karenanya pemerintah melakukan berbagai inovasi dan menyisir segenap regulasi di sektor ini.

Dari kajian yang ada, pemerintah menangkap keluhan KKKS atas perpajakan hulu migas serta terms and conditions yang tidak menarik. Untuk itu, pemerintah telah melakukan revisi Peratuan Pemerintah (PP) 79 Tahun 2010 menjadi PP 27 tahun 2017.

“Kita menyelesaikan revisi PP 79 dalam 6 bulan menjadi PP 27,” kata Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar.

Dalam peraturan ini, Kontraktor diberikan kemudahan dalam dua bentuk yakni fasilitas selama eksplorasi dan eksploitasi serta Insentif Kegiatan Usaha Hulu. Fasilitas selama masa eksplorasi dan eksploitasi kontraktor dibebaskan bea masuk impor barang dan insentif PPN/PPnBM, PPh, dan PBB. Kedua, Insentif hulu yang dimaksud adalah berupa Investment credit, Imbalan Domestic Market Obligation (DMO) Holiday, depresiasi yang dipercepat, dan Cost Sharing bebas PPh.

Tidak hanya itu, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Aturan ini tidak hanya dimaksudkan untuk mendorong sektor hulu migas, namun juga sebagai upaya pemerintah mengakhir sistem cost recovery. Pemerintah merasa ‘dirugikan’ oleh sistem bagi hasil hulu migas yang telah berlaku sejak tahun 1960 an itu.

Misalkan pada tahun 2015, untuk pertama kalinya cost recovery lebih besar dari penerimaan negara. Bahkan pada tahun 2016, cost recovery telah menembus Rp46,4 triliun sementara penerimaan bagian pemerintah hanya Rp39,9 triliun.

“Prinsipnya dari gross split lebih sederhana, efisien dan transparan. Parameter ditentukan berdasarkan karakteristik lapangan serta kompleksitas pengembangan dan produksi,” ujar Arcandra.

Tetapi tidak sedikit kalangan yang menolak dan menggap Permen Nomor 8 Tahun 2017 itu malah tidak memberikan kepastian usaha atas biaya yang telah dikeuarkan, serta hilangnya kontrol pemerintah atas kontraktor.

“Jika menggunakan gross split maka tidak ada kehadiran negara dalam mekanisme pasar, karena negara tidak bisa mengawasi secara penuh,” kata Direktur Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro.

Merespos atas berbagai kritikan yang ada, Kementerian ESDM melakukan revisi atas blied itu hingga menjadi Menteri ESDM No.52 tahun 2017. Adapun poin penting diantaranya meliputi pasal 6 (ayat 4 dan 4a) bahwa bagi hasil komponen progresif yaitu dari produksi migas. Jika produksi migas secara kumulatif di bawah 30 Million Barrels of Oil Equivalent (MMBOE), kontraktor akan mendapat bagi hasil (split) 10 persen. Pada Permen sebelumnya, apabila produksi migas kurang dari 1 MMBOE, kontraktor mendapat tambahan split 5 persen.

Adanya pemberian insentif untuk pengembangan lapangan kedua dan pemberian insentif lebih tinggi apabila lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu. Kemudian melalui Permen baru ini, Pemerintah menstimulus para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas melalui pemberian insentif tambahan split sebesar 3 pesen jika KKKS melakukan pengembangan lapangan migas yang kedua dalam blok migas yang sama (Plan of Development/POD II).

Pada Permen sebelumnya, tambahan split sebesar 5 persen hanya untuk pengembangan lapangan pertama (POD I), sedangkan POD II tidak diberikan. Dengan demikian, KKKS akan termotivasi untuk melakukan pencarian cadangan migas tambahan dalam blok migas yang telah berproduksi dari lapangan migas pertama.

Perubahan poin ketiga adalah penyesuaian split yang diakibatkan komponen progresif harga minyak dan gas bumi yang tercantum pada pasal 9. Pada harga minyak, penyesuaian split kontraktor didasarkan pada formula (85-ICP) x 0,25 persen, dengan contoh perhitungan apabila harga minyak dibawah USD 40 penyesuaian split kontraktor menjadi 11,25 persen, di Permen sebelumnya hanya 7,5 persen.

Selanjutnya poin keempat, adanya tambahan komponen progresif harga gas yang belum diatur pada permen sebelumnya. Formula yang ditetapkan untuk harga gas di bawah USD 7/mmbtu (million british thermal unit), maka penyesuaian split ke kontraktor adalah (7-harga gas)x2,5 persen, sedangkan untuk harga gas di atas USD 10/mmbtu maka penyesuaian split ke kontraktor adalah (10-harga gas)x2,5 persen.

Sebagai contoh, untuk harga gas USD 5/mmbtu, maka kontraktor akan mendapatkan split 5 persen, sedangkan apabila USD 6/mmbtu maka split ke kontraktor hanya sebesar 2,5 persen. Penyesuaian split tersebut dilaksanakan setiap bulan berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh SKK Migas.

Poin perubahan kelima adalah komponen variabel fase produksi. Pada Permen ini, besaran split pada tahapan produksi sekunder sebesar 6 persen, sebelumnya hanya 3 persen. Kemudian, pada tahap tersier, besaran split mencapai 10 persen dari sebelumnya hanya 5%. Pada tahap ini produksi minyak menggunakan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR).

Poin keenam, perubahan terletak pada komponen variabel kandungan hidrogen-sufrida (H2S). Apabila suatu lapangan migas terdapat kandungan H2s yang tinggi, maka akan diberikan tambahan split. Misal, untuk lapangan migas yang memiliki kandungan H2S dibawah 100 part per million (ppm), maka kontraktor tidak mendapatkan split, sedangkan apabila kandungan H2Snya melebihi 4000 ppm kontraktor mendapatkan split sebesar 5 persen.

Poin ketujuh, perubahan tambahan split untuk wilayah kerja yang sama sekali belum tersedia infrastruktur penunjang Minyak dan Gas Bumi (new frontier), dibagi menjadi lokasi new frontier offshore mendapatkan split 2 persen sedangkan untuk new frontier offshore sebesar 4 persen. Sebelumnya tidak ada pembedaan onshore dan offshore.

Dan poin perubahan terakhir atau yang kedelapan adalah mengenai diskresi Menteri ESDM yang dapat memberikan tambahan atau pengurangan split yang didasarkan pada aspek komersialitas lapangan. Pada aturan sebelumnya, Menteri ESDM hanya dapat memberikan tambahan split maksimal 5 persen.

Adapun poin yang tidak berubah adaah komponen dasar bagi hasil (base split). Besaran bagi hasil awal untuk minyak bumi yang menjadi bagian negara sebesar 57 persen, sisanya 43 persem untuk kontraktor. Sedangkan bagian negara dari gas bumi sebesar 52 persen dan sisanya sebesar 48 persen menjadi hak kontraktor.

Komaidi mengapresiasi atas perubahan itu, dia mengatakan sejumlah poin perubahan telah mengakomodir pelaku usaha. Namun ia meyarankan sistem gross spilit hendaknya diberlakukan secara opsional karena ia meyakini sistem ini tidak lebih baik dari sistem cost recovery.

“Saran saya dilakukan secara paralel. Jadi cost recovery tetap ada dan gross split silahkan dijalankan. Nanti akan dipilih untuk lapangan – lapangan yang memang cocok untuk model tertentu,” pungkasnya.

Entah faktor harga minyak dunia yang mulai mengangkat ataukah faktor inovasi kebijakan yang telah dilakukan, pada tahun yang sama yakni 2017, pemerintah mengahiri masa ‘puasa’ dengan ditandai lakunya lelang WK migas. Dimana dua tahun sebelumnya (2015/2016) tak mendapat komitmen KKKS.

Selanjutnya, # Wilayah Kerja Migas

Artikel ini ditulis oleh:

Eka