Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Lulung Abraham Lunggana, kembali menegaskan, munculnya sejumlah proyek bermasalah dan terindikasi korupsi pada APBD Perubahan 2014 tak terlepas peran oknum pemerintah provinsi (pemprov).

Demikian disampaikannya saat menjadi narasumber dalam diskusi di sela Konferensi Wilayah (Konferwil) Gerakan Pemuda (GP) Ansor XVII DKI di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Ahad (7/2).

“Sekali lagi saya jelaskan, kewenangan untuk membuat nomenklatur, kode rekening, lelang, sampai penerbitan SP2D (surat perintah pencairan dana), itu kewenangan eksekutif, pejabat-pejabat pemprov,” ujarnya.

Namun, sambung ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DKI ini, justru opini yang digiring Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), aktor intelektual proyek-proyek bermasalah tersebut, seperti pengadaan UPS, printer 3D dan scanner, modern science, alat-alat fitness, serta digital education room (DER), adalah anggota dewan.

“Nama saya bahkan disebut-sebut terlibat pengadaan UPS semenjak satu tahun lalu. Tapi, faktanya kan jelas, sampai kini Haji Lulung tidak ditetapkan sebagai tersangka,” jelasnya.

“Bagaimana ini mau dibilang proyek saya, sedangkan selama proses pembahasannya, saya tidak aktif, bahkan tidak menghadiri paripurna, karena sibuk mengurus partai (mengingat ada pemilu),” imbuh politikus asal Tanah Abang itu.

Justru, bagi Lulung, Ahok lah yang tidak cermat dan benar dalam menjalankan kewenangannya sebagai kepala daerah dalam penganggaran. Pasalnya, tidak mengindahkan evaluasi Kemendagri atas evaluasi APBD-P 2014 yang telah dikoreksi.

“Kemendagri jelas memberikan catatan untuk beberapa program/kegiatan, tapi Ahok tidak menjalankan PP No. 58/2005 dan Permendagri No. 21/2011, bahwasanya catatan tersebut harus ditindaklanjuti bersama antara eksekutif melalui TAPD dengan DPRD,” paparnya.

“Forum itu (ditindaklanjuti bersama oleh TAPD dan DPRD) tidak ada, karena Ahok enggak mencari tahu dan menanyakan kepada TAPD soal keharusan melakukan pembahasan. Yang ada, Ahok cuma bersurat kepada DPRD pada 21 Oktober 2014,” sambungnya.

Hal tersebut, kata pengurus Pemuda Panca Marga (PPM) ini, menunjukkan Ahok tak memahami proses penganggaran.

Ketidakpahaman itu juga tercermin dari kesaksian Ahok saat bersaksi di pengadilan, dimana pembelian lahan RS Sumber Waras tidak bermasalah, lantaran telah tercantum pada Kebijakan Umum Anggaran serta Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS).

“Apa dasar hukumnya kalau ada KUA-PPAS berarti proyeknya benar? KUA-PPAS itu kan cuma bicara plafon, enggak membahas program/kegiatan dengan detail dan masih bisa berubah ketika membahas Rancangan APBD,” terangnya.

“Ahok mungkin juga lupa, kalau Kemendagri justru memberikan catatan untuk Sumber Waras. Parahnya, tetap dianggarkan dan dibeli, padahal tidak ada pembahasan antara TAPD dengan DPRD setelah menerima evaluasi Kemendagri,” tandas Lulung.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan