Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan menjatuhi hukuman Ahok selama dua tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 156 KUHP tentang penodaan agama. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, menyatakan tidak setuju dengan rencana penghapusan pasal tentang penodaan agama. Pasal tersebut dibutuhkan dalam rangka menjaga stabilitas negara dari para pelaku penodaan agama.

“Negara kita aksesnya Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau keyakinan agama yang diyakini setiap agama, agama apapun, kemudian dicederai, dihina, itu bisa marah, dan marahnya itu pas sudah dihapus, bisa pakai apa?,” tegas dia, saat ditemui di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (17/5).

Penilaian dia, sampai kapan pun pasal ihwal penodaan agama mempunyai peranan tersendiri untuk menjaga kehidupan berbangsa dan benegara di Tanah Air. Maka dari itu pemerintah harus memastikan eksistensi aturan tersebut.

Untuk bisa merasakan betapa pentingnya pasal tentang penodaan agama, pemerintah, imbuhnya, harus paham betul sejarah perumusannya. Terakhir dari Hamdan, tinggal pemerintah mau memutuskan apa, apakah dugaan penodaan agama diselesaikan melalui hukum legal atau ‘hukum rimba’.

“Karena itu, pasal itu masih dibutuhkan selama-lamanya. Jangan sekali-sekali menghapus. Pasal-pasal itu adalah ‘ratu pengamen’ menjaga agama yang dianut di Indonesia. Negara harus menjamin itu,” papar dia.

“Mana yang lebih, kita jaga koridor hukum, atau dengan demo, atau intimidasi publik? Mana yang kita kehendaki? Kalau tidak ada koridor hukumnya nanti pakai jalanan, ini lebih bahaya,” pungkasnya.

Dalam KUHP, aturan tentang penodaan agama tertuang di Pasal 156a. Wacana penghapusan pasal itu sebetulnya sudah diwacanakan sejak lama. Ada beberapa pihak yang setuju dengan rencana ini, salah satunya PDI-Perjuangan.

Bahkan, fraksi PDI-P di DPR berani mendorong rencana penghapusan pasal penodaan agama dalam revisi KUHP yang saat ini tengah dibahas.

(Zhacky Kusumo)

Artikel ini ditulis oleh: