Pedagang yang ada di Pasar Flamboyan dan pasar tradisional lainnya di Kota Pontianak, diimbau menjual bawang putih di bawah Rp38 ribu/kg pasca dilakukannya operasi pasar. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Menjelang Ramadhan dan Idul Fitri harga bawang merah dan bawang putih kembali naik. Bahkan untuk bawang putih saja sudah seminggu yang lalu harga naik lebih dulu.

Di tingkat distributor sudah sampai 20.000 per kilo. Kenaikan harga-harga pun dibenarkan juga oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

“Harga eceran bawang merah dan bawang putih cenderung naik hingga akhir Juni 2021 disebabkan karena permintaan menjelang bulan puasa dan Idul Fitri,” kata Menteri Syahrul dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI ketika membahas Persiapan dan Ketersediaan Pangan menghadapi Bulan Ramadhan dan Hari Besar Keagamaan belum lama ini.

Terkait hal tersebut, Forum Komunikasi Pengusaha dan Pedagang Pangan (FKP3) Aminullah menanggapi gejolak kenaikan harga itu. Menurutnya, untuk bawang putih seharusnya tidak perlu sampai ikut-ikutan naik.

Sedangkan bawang merah mungkin bisa dipahami karena faktor cuaca sampai banjir di beberapa daerah, sehingga mengakibatkan gagal panen serta sentra lahan dan petaninya jelas-jelas ada.

“Tetapi kalau bawang putih inikan produk impor dengan ritme atau siklus yang sudah terbaca setiap tahun. Berapa kebutuhan impor setiap tahun dan bulan, di bulan apa saja yang permintaannya tinggi. Produksi dan harga di negara asal seperti China pun tidak ada kendala. Tidak ada lonjakan harga di negara produsen. Seharusnya bawang putih tidak perlu latah ikut-ikutan naik. Karena tidak ada hambatan alam dan fluktuasi harga internasional,” tegas Aminullah dalam keterangannya, Minggu (21/3).

Tak hanya itu, Ketua FKP3 ini menyoroti regulasi RIPH dan SPI yang menjadi sumber masalah kenaikan harga. Menurutnya, dengan dikeluarkannya UU Ciptaker seharusnya kemudahan berusaha dan kestabilan harga yang terjangkau oleh masyarakat dapat diwujudkan, sehingga pedagang tidak sulit mendapatkan barang dan harga tidak terus-terusan naik.

“Terus terang kami bingung, sudah jelas-jelas di UU Ciptaker dan PP Nomor 26 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, saya baca dari awal sampai akhir khususnya di sub sektor hortikultura, tidak ada lagi diatur mengenai importasi produk pangan yang biasa dikenal dengan RIPH, PP tersebut lebih banyak mengatur sarana hortikultura dan perbenihan. Lantas kenapa sampai saat ini kalau mengajukan harus pakai RIPH lagi? Jadi peraturan mana yang harus dipakai? Jangan sampai menjalankan aturan bertentangan dengan peraturan yang di atasnya”, Ujar Aminullah.

Disisi lain, keluhan yang sama juga datang dari importir yang ingin mengajukan RIPH tapi tidak bisa. “Untuk saat ini pengajuan RIPH bawang putih sedang ditutup alasannya pembatasan dari pihak Kementerian Pertanian,” ungkap Widyaningsih salah satu perwakilan importir.

“Katanya Kementan mau membatasi dulu karena sudah banyak yang mengajukan RIPH, jadi ditutup dulu. Jadi yang belum upload nunggu dulu sampai buka lagi,” tambahnya.

Widyaningsih menyampaikan, “saat ini yang menjadi kendala dari pihak importir adalah GAP dan wajib tanam yang harus dilakukan sesuai RIPH, harusnya sesuai SPI dong kan baru rekomendasi”.

“Terus terang yang memberatkan adalah misalnya RIPH ini keluarnya 10.000 ton, tapi SPI nya di Kementerian Perdagangan cuma dikasih 4000 ton, tapi wajib tanamnya tetap 10.000 ton, disini sudah sangat memberatkan karena kami harus membiayai wajib tanam yang 6000 ton yang barangnya tidak ada, biaya dari mana harus nanam 6000 ton? Karena kami harus sewa lahan, beli bibit dan pupuk yang mengeluarkan biaya tidak sedikit,” jelas Widyaningsih.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu