Jakarta, aktual.com – Sesuai dengan fitrah alam manusia, kecenderungan alamiahnya adalah ingin meraih kewibawaan dan kehormatan. Ia berhasrat untuk menjadi individu terpandang dalam dunia ini. Dorongan batinnya akan terus mendorong pemiliknya untuk berupaya dengan segala tenaga guna mencapai dan memperoleh derajat terhormat.

Namun, ketika nafsu itu mengarahkan individu ke hal-hal yang tidak baik dan menghalangi individu dari memahami esensi keberadaan Allah SWT karena terjerumus dalam hawa nafsu dan keinginan yang gelap, maka nafsu tersebut akan menjadi sumber kesesatan dan mendorong individu memilih kehormatan yang bersifat sementara.

Nafsu akan terus terjerat oleh godaan harta, hubungan keluarga, keturunan, kedudukan, kekuasaan, serta urusan-urusan dunia yang bersifat keduniawian. Individu beranggapan bahwa kehormatan sejati hanya dapat ditemukan dalam dunia material, sehingga perhatian dan fokus hatinya teralihkan.

Namun, pada kenyataannya, sekalipun seseorang berhasil menguasai seluruh dunia dan meraih kehormatan semu tersebut, hakikat kehormatan itu tak lebih berarti daripada beban satu sayap seekor nyamuk.

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Andai dunia itu senilai satu sayap seekor nyamuk di sisi Allah, tentu orang kafir tidak akan diberi minum walaupun seteguk air,” (HR. Turmudzi)

Oleh karena itu, individu yang memiliki akal cerdas dan pikiran yang tenang yang tercerahkan oleh cahaya iman, tidak akan mencari kehormatan dalam sesuatu yang bersifat sementara. Sebabnya adalah bahwa individu yang bijak akan menginginkan kehormatan yang abadi, yaitu kehormatan di hadapan Allah, kehormatan melalui ketaatan, dan kehormatan dalam melaksanakan perintah-Nya.

Dalam hal ini Syekh Ibnu Athaillah berkata dalam kitab Hikam-­nya sebagai berikut:

أن أردت أن يكون لك عزّ لا يفني فلا تستعزّنّ بعزٍ يفني

“Jika engkau menginginkan kemuliaan yang tak fana maka janganlah tenggelam dalam kemuliaan yang fana,”.

Kemuliaan yang fana yaitu kemuliaan dunia yang sering kali diukur oleh parameter-parameter materi, seperti harta, kedudukan, atau popularitas. Manusia mengarahkan segala usaha dan perhatiannya untuk mencapai derajat yang dihormati oleh orang lain. kewibawaan dalam lingkungan sosial dan pencapaian materi menjadi standar keberhasilan dan kemuliaan dalam pandangan banyak orang.

Namun, kemuliaan yang diperoleh melalui harta atau kewibawaan dunia memiliki karakteristik yang rapuh dan labil. Kekayaan bisa hilang, kedudukan bisa tergeser, dan popularitas bisa memudar seiring berjalannya waktu. Semua ini menyebabkan pencarian kehormatan semacam itu menjadi sia-sia dan mengecewakan, karena pada akhirnya, apa yang dicapai dengan susah payah bisa lenyap dalam sekejap.

Kemuliaan yang fana seringkali tidak memberikan kepuasan yang mendalam dan abadi. Ketika seseorang mencapai puncak pencapaian duniawi, mereka mungkin merasa kekosongan dalam hati mereka. Pencarian terus-menerus terhadap pengakuan dan prestise dapat mengarahkan mereka pada kecemasan, depresi, dan kebingungan. Mereka menyadari bahwa kemuliaan tersebut tidak memberikan makna yang sejati dalam hidup.

Waallahu a’lam

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain