Jakarta, Aktual.com — Berunjuk rasa atau pun demonstrasi merupakan bentuk lazim dari keterbukaan sejumlah negara dalam menuntut hak rakyat atas sikap pemimpin yang dinilai zalim.

Namun demikian, dalam kenyataannya melakukan demonstrasi terhadap pemimpin Muslim yang zalim tersebut dalam hukum Islam tidak diperbolehkan.

Pasalnya, hal tersebut berarti menandakan kita telah keluar dari ketaatan terhadap penguasa. Lantas, kenapa tidak diperbolehkan? Berikut Aktual.com sajikan ulasannya.

Pertama, aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan secara anarkis maupun dengan cara damai telah terang-terangan menandakan keluar dari ketaatan terhadap penguasa. Melakukan pembangkangan dari ketaatan kepada penguasa adalah haram dengan kesepakatan para Ulama.

Imam Nawawi rahimahullah berkata,وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِي
“Adapun keluar dari ketaatan pada penguasa dan menyerang penguasa, maka itu adalah haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para Ulama, walaupun penguasa tersebut adalah fasik lagi zalim” (Syarh Muslim, 12: 229).

Kedua, sangat jelas demonstrasi merupakan bentuk dari ketidaktaatan pada penguasa, padahal taat kepada penguasa itu wajib meskipun ia zalim dan fasik. Meskipun pemimpin tersebut menaikkan BBM dan itu menyusahkan rakyat banyak, maka kita tetap wajib taat pada mereka karena ada kemaslahatan yang besar di balik ketaatan tersebut. Nabi Muhammad SAW bersabda,

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.

“ Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” Beliau bersabda, ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, Walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka” (HR. Muslim no. 1847).

Dalam Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah Rahimahullah menerangkan mengenai Hadis di atas,

فتبين أن الإمام الذي يطاع هو من كان له سلطان سواء كان عادلا أو ظالما

“Jelaslah dari Hadis tersebut, penguasa yang wajib ditaati adalah yang memiliki sulthon (kekuasaan), baik penguasa tersebut adalah penguasa yang baik atau pun zalim”

Jika ada yang membantah bahwa, karena penguasa berbuat zalim, maka harus dibalas pula dengan kezaliman atau kekerasan. Dalil dukungan dalam syubhat ini adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ

“Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu” (QS. Al Baqarah: 194).

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa” (QS. Asy Syura: 40).

Ibnu Abil Izz Rahimahullah berkata, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezaliman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berbuat zalim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita” (Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381).

Ketiga, penting untuk diketahui bahwa aksi demonstrasi bukanlah cara satu-satunya untuk mengajukan aspirasi kepada penguasa. Tidak pantas rasanya jika adanya sejuta cara yang lebih ahsan, namun yang dipilih adalah cara yang mengandung kerusakan. Dalam Hadis dikatakan,

ثَلاَثٌ لاَ يُغَلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومِ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ

“Ada tiga hal yang hati seorang Muslim tidak menjadi dengki karenanya: ikhlas beramal hanya untuk Allah SWT, memberi nasehat kepada para penguasa, dan tetap bersama jama’ah karena doa (mereka) meliputi dari belakang mereka” (HR. Tirmidzi no. 2658 dan Ahmad 3: 225. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa Hadis ini sahih).

Namun demikian, bagaimanakah cara yang benar untuk menasehati penguasa tersebut? Pastinya bukan dengan cara yang dapat menimbulkan kerusakan. Jika kezaliman penguasa dibalas dengan kerusakan pula, maka ini tentu tidak dibenarkan dalam Islam. Karena ajakan para ulama yang telah masyhur,

الضرر لا يزال بضرر

“Kerusakan tidak boleh dihilangkan dengan kerusakan pula”.

Keempat, adapun cara yang tepat dalam mengajukan aspirasi kepada pemimpin yakni, dengan berbicara empat mata, bukan malah dilakukan secara terang-terangsn di depan khalayak ramai dan bukan dengan menyebarkan ‘aib pemimpin di hadapan rakyat atau media.

Dari ‘Iyadh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati)” (HR. Ahmad 3: 403. Syaikh Syu’aib Al Arnauht mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).

Lantas, terkait situasi saat ini dimana sebagian besar orang seringkali suka menggunjing pemimpin. Dan, jika dijelaskan bahwa hal itu tidak boleh, biasanya berdalil dengan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Sesungguhnya salah satu jihad yang paling afdhol adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zhalim” (HR. Abu Daud no. 4344, An Nasai no. 4209, dan Tirmidzi no. 2174. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Oleh sebab itu, dari Hadis di atas secara jelas dapat disimpulkan bahwa hendaknya umat muslim tidak mengingkari pemimpin muslim meskipun dia telah berbuat zalim dan fasik secara terang-terangan.

Kemudian, hendaknya dalam menyampaikan nasihat ahsannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau melalui pembicaraan empat mata. Dan, sepantasnya sebagai umat Islam kita sebisa mungkin untuk menghindari diri menggunjingkan aib dan keburukan pemimpin. Serta, mengembalikan semua urusan dan keputusan terbaik hanya kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bis showwab.

Artikel ini ditulis oleh: