Ungkapan ini digunakan untuk menyatakan bahwa kadang-kadang lebih baik tidak mengetahui sesuatu, karena mengetahui hal tersebut justru bisa membuat kita khawatir atau tidak bahagia.
Idiom ini sering digunakan dalam situasi di mana mengetahui kebenaran bisa membawa beban emosional atau mental.
“Ketidaktahuan adalah kebahagiaan” atau “ignorance is bliss” adalah idiom yang menarik. Ini berarti bahwa kadang-kadang lebih baik tidak tahu tentang sesuatu yang mungkin akan membuat kita khawatir, stres, atau tidak bahagia. Contohnya, jika seseorang tidak tahu tentang masalah kesehatan yang serius pada diri sendiri atau orang lain, mereka mungkin bisa menikmati hidup tanpa beban pikiran tentang hal itu. Namun, idiom ini juga bisa digunakan dalam konteks yang lebih luas untuk menggambarkan situasi di mana ketidaktahuan memungkinkan seseorang untuk tetap tenang dan bahagia, meskipun mungkin ada hal-hal yang tidak mereka ketahui.
Sayang ini tidak berlaku pada hukum, dimana adagium dalam hukum, seuruh warga negara dianggap mengetahui akan aturan hukum yang jumlahnya ratusan aturan bahkan ribuan aturan pasal pasal dalam hukum positif dan hukum tidak tertulis.
Ini yang kadang timbul ketidak adilan itu sendiri. Yang berakibat orang tidak bahagia karena adagium akan hukum tersebut, maka tidak heran seluruh aparat hukum rata rata hidup nya tidak bahagia karena tahu dan paham menerapkan aturan tatanan hukum tidak sesederhana yang dibayangkan sangat kompleksitas dan penuh dengan kepentingan, dimana satu kali dua bukan tidak mungkin jawaban nya bisa sepuluh atau bahkan dua puluh.
Adagium “ignorantia juris non excusat” atau “ketidaktahuan hukum tidak memaafkan” memang sering kali menimbulkan perdebatan. Prinsip ini berasumsi bahwa semua orang dianggap tahu hukum yang berlaku, sehingga ketidaktahuan tentang hukum tidak bisa dijadikan alasan untuk melanggarnya.
Namun, prinsip ini memang kadang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, karena:
- Keterbatasan akses informasi: Banyak warga negara mungkin tidak memiliki akses yang memadai untuk memahami hukum yang kompleks.
- Kompleksitas hukum: Hukum sering kali rumit dan sulit dipahami, bahkan bagi ahli hukum sekalipun.
- Keadilan substantif: Beberapa berpendapat bahwa keadilan seharusnya mempertimbangkan keadaan individu, termasuk ketidaktahuan tentang hukum.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa hukum sering kali harus menyeimbangkan antara kepastian hukum dan keadilan individual.
Dibidang ilmu hukum kemunculan Sociological Jurisprudence dapat dianggap suatu perkembangan yang sangat revolusioner di era globalisasi saat ini. Karena dapat menumbangkan pemikiran terhadap hukum yang hanya bersifat formal – Positivisme. Munculnya aliran hukum Ini adalah sebagai reaksi penolakan terhadap aliran hukum Positivisme yang bersifat a- history, a- sosial, dan a – kultural. Yang mana aliran hukum ini mendorong kajian kajian ilmu hukum untuk membuka diri terhadap kajian ilmu lain yang melibatkan variable variable Sosio culture untuk dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan pembuatan hukum dan penerapannya yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Agar tercipta rasa keadilan masyarakat itu sendiri.
Dalam kaitan dengan Idiom ” Ignorance Is Bliss ” yang artinya ketidak tahuan adalah kebahagiaan, sangat erat kaitan dengan kondisi mental bangsa , semakin tingkat pengetahuan seseorang makin tinggi maka dirinya melihat berbagai persoalan semakin kompleksitas, hingga timbul pemahaman bahwa sesungguh nya diri kita tidak tahu apa apa atas seluruh kejadian alam semesta ini, yang terkait erat saling isi saling mengikat atas ruang dan waktu, dimana dalam Islam disebut hukum alam atau Subatullah. Semakin kita ingin mengetahui maka yang didapat adalah ketidak tahuan itu sendiri, dimana dalam ilmu filsafat pun seorang filsuf sejati meresa dirinya adalah kehampaan dimana ketidak tahuan itu sendiri merupakan puncak dari segala Keilmuan filsafat itu sendiri.
“Sejatine seng Ono Kuwi Dudu” dalam dimensi sastra Jawa kata kata tersebut sangat dalam yang arti makna nya bahwa seluruh dimuka bumi ini adalah tipuan, yang ada sesungguh nya tidak seperti yang terlihat, hanya fatamorgana , bagi pandangan seorang filsuf, seorang ahli spiritual dalam tasawuf dan seorang yang mendalami puncak ilmu eksacta, dalam fisika.
Maka kehidupan yang dirasa paling berbahagia adalah ketidak tahuan itu sendiri dimana diri kita tidak lagi merasa takut dan kawatir yang ada adalah berserah diri pada Alam semesta beserta penguasa nya, bahwa diri kita hanya debu bagian dari Subatullah dalam Satu Galaksi alam semesta, dimana ada puluhan Galaksi bahkan mungkin ratusan galaksi, diluar Galaksi Bima sakti yang kita pahami selama ini.
Oleh: Agus Widjajanto, Praktisi hukum, pemerhati sosial budaya, dan sejarah bangsa nya.