Jakarta, Aktual.co — Tidak cukup hanya dengan cinta dan kerja untuk pernikahan. Ada hal lain yang terkadang lupa untuk dipersiapkan oleh orang yang mau menuju gerbang pernikahan, yaitu ilmu tentang parenting dan psikologi pernikahan. 
Karena menjadi seorang kepala rumah tangga berarti siap untuk mengemban amanah untuk menjadi pelindung seluruh anggotanya. “Qu Anfusakum wa ahlikum naaro” (QS. At-Tahrim : 6 ).
Jangan sampai terlanjur menjadi ayah tapi tidak tahu bagaimana mendidik anak. Jangan sampai terlanjur berkeluarga, tapi tidak tahu bagaimana menjadi pemimpin keluarga yang baik. Sebab, suami yang memperlakukan istrinya dengan buruk akan menjadi contoh buruk bagi anak laki-laki dalam memperlakukan teman-temannya dan istrinya kelak.
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 133, Allah memberikan gambaran bagaimana kesuksesan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam dalam mendidik anak-anaknya.
Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (QS. Al-Baqarah: 133).
Nabi Ya’qub ingin mengkroscek ke-tauhid-an anak-anaknya menjelang ia wafat. Ia ingin mengetahui apakah sepeninggalnya nanti anak-anaknya tersebut masih menyembah Allah atau tidak. Ini merupakan suatu klarifikasi yang penting bagi Nabi Yaqub apakah pasca kematiannya anak-anaknya dalam kehinaan atau kemuliaan.
Na’budu ilahaka wa ilaaha aabaa-ika. Nabi Ya’qub suskes mengajarkan pendidikan tauhid kepada anak-anaknya, dan ini mementahkan anggapan bahwa Nabu Ya’qub memeluk agama Yahudi. Terlihat bahwa jawaban mereka amat gamblang. Di sini ada rasa kebanggaan seorang anak terhadap Ayahnya. Ada unsur kekaguman, kedekatan seorang anak kepada Ayah dan kakek-kakenya karena mereka telah menjadi agen pembentuk Tauhidullah pada anak keturunannya.
Ilaahan waahidan. untuk menghilangkan kesan bahwa Tuhan yang mereka sembah itu dua atau banyak tuhan-karena sebelumnya mereka berkata Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu–maka ucapan mereka dilanjutkan dengan penjelasan bahwa Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh pada-Nya, bukan kepada selain-Nya siapa pun dia. 
Kemusyrikan remaja sekarang memang tidak lagi menyembah batu dan pohon. Tapi kemusyrikan anak zaman sekarang lebih berbahaya dari zaman dahulu. Horoskop, ramalan dan kemusyrikan akibat mengidolakan terlalu berlebihan pada publik figur. Sehingga mereka lebih mengidolakan artis dari pada Allah dan Rasul-Nya yang seharusnya lebih mereka cintai.Wa Nahnu lahu muslimun. 
Tugas ayah salah satunya adalah memastikan bahwa anak-anak sudah mendapat asupan ilmu menjadi seorang muslim yang kaffah. Ayah bukanlah mesin ATM yang kehadirannya dibutuhkan anak-anak hanya ketika mereka butuh uang. Ayah sekarang sibuk bekerja. Sibuk berkarir. Berkomunikasi dengan anak-anak hanya soal materi.
1. Fenomena Lapar Ayah (Father Hunger)
Fenomena lapar ayah terjadi dalam dua kondisi:Tidak adanya kehadiran fisik seorang ayah. Sebagian besar disebabkan karena faktor perceraian.Ada kehadiran fisik. Namun ayah sibuk sendiri dengan aktivitasnya.Anak-anak seolah sudah hafal apa yang biasa ayah perintahkan. “ayo bangun, makan, tidur, belajar, dll….” Dan anak sudah hafal kata-kata ayah yang tidak kreatif itu.
Akar persoalan kerusakan generasi muda bermula dari ayah yang tidak menjalankkan peran dan fungsinya kepada anak-anaknya. Ayah terlalu sibuk menacri nafkah dan mengejar karir namun tidak memahamai apa sebetulnya kebutuhan anak-anaknya. Keberadaan geng motor, fenomena cabe-cabean, narkoba dan tawuran misalnya, adalah bentuk ketiadaan peran ayah dalam mentransformasikan nilai-nilai keberanian, kejujuran pada anak-anaknya. Yang ayah tahu hanya kerja…kerja…dan kerja. Dia merasa telah menjadi ayah yang baik dengan memenuhi kebutuhan materi anaknya, namun ia menjadi ayah yang bisu, tidak pernah berdialog dengan anak-anaknya. Sehingga banyak anak-anak yang lapar belaian ayah, lapar kasih sayang ayah, lapar komunikasi dengan ayah.
Selain itu, sifat kebanci-bancian pada anak laki-laki yang saat ini mulai memenuhi ruang-ruang hiburan di televisi menjadi fenomena yang tak lepas dari ketiadaan peran seorang ayah dalam mencontohkan kemaskulinan seorang  laki-laki . Anak tidak mendapat sifat kelaki-lakian karena ketiadaan didikan seorang ayah, karena anak itu kecewa pada ayahnya, karena anak itu benci pada ayahnya, karena anak itu jauh dari anaknya.
Fenomena lain akibat tak dipahaminya peran ayah dalam mengelola keluarga adalah broken home. Ini terjadi bukan karena tersebab perceraian. Namun ketika ayah tidak hadir di rumah, dan rumah tangga yang dibangun tidak bisa dijadikan sebagai sarana menanamkan nilai-nilai kebaikan antar anggotanya itulah yang sebetulnya disebut broken home. Dikutip dari laman dakwatuna, Rabu (5/11).