990420-F-7910D-507 Two U.S. Air Force F-16 Fighting Falcons fly in formation during a mission in support of NATO Operation Allied Force on April 20, 1999. Operation Allied Force is the air operation against targets in the Federal Republic of Yugoslavia. The F-16's are from the 510th Fighter Squadron, Aviano Air Base, Italy, and are carrying a full air-to-air combat load to include AIM-120 Advanced Medium-Range Air-to-Air Missiles, drop tanks and an electronic jamming pod. DoD photo by Senior Airman Greg L. Davis, U.S. Air Force. (Released)

Bangkitnya ekonomi dan militer China, sebagai negara adidaya baru yang menandingi Amerika Serikat, menandai pergeseran pusat aktivitas ekonomi dunia ke Asia. Sejalan dengan bergesernya dinamika ekonomi dunia tersebut, volume penjualan alat utama sistem persenjataan (alutsista) global juga menunjukkan pergeseran ke Asia.

Sebenarnya, bukan cuma aktivitas dan dinamika ekonomi yang mempengaruhi penjualan senjata. Seraya terus mengejar pertumbuhan ekonomi dan pengakuan sebagai negara adidaya, China juga terlibat sengketa wilayah dengan sejumlah negara –Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan—di kawasan Laut China Selatan. Sengketa wilayah ini berpotensi pecah menjadi konflik militer terbuka.

Menurut lembaga riset SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute), yang mengeluarkan laporan tahunan tentang pembelanjaan militer seluruh dunia, terdapat sejumlah tren utama penjualan senjata internasional dalam lima tahun terakhir. Penjualan itu menunjukkan tren meningkat, khususnya ke kawasan Asia dan Timur Tengah. Negara-negara di Asia dan Timur Tengah adalah pembeli senjata terbesar, yaitu India dan Arab Saudi, yang adalah pembeli pertama dan kedua terbesar.

Volume transfer persenjataan utama di tingkat internasional telah tumbuh terus-menerus sejak 2004, dan meningkat 14 persen antara 2006-2010 dan 2011-2015. Kawasan utama penerima transfer persenjataan pada 2011-2015 adalah Asia dan Oceania, yang mencakup 46 persen dari total impor persenjataan global. Kawasan itu disusul oleh Timur Tengah (25 persen), Eropa (11 persen), kawasan Amerika (9,6 persen), dan Afrika (8 persen). Sedangkan lima negara pengimpor persenjataan terbesar adalah India, Arab Saudi, China, Uni Emirat Arab (UAE), dan Australia. Secara bersama-sama, mereka mencakup 34 persen dari total impor senjata global.

Impor senjata oleh negara-negara di Asia dan Oceania telah meningkat 26 persen. Enam dari 10 importir persenjataan terbesar di Asia dan Oceania dalam periode lima tahun (2011-2015) adalah: India (14 persen dari total impor persenjataan global), China (4,7 persen), Australia (3,6 persen), Pakistan (3,3 persen), Vietnam (2,9 persen), dan Korea Selatan (2,6 persen). Impor persenjataan Vietnam bahkan meningkat 699 persen.

Namun di Eropa, terjadi penurunan pembelian senjata oleh negara-negara Eropa sebesar 41 persen antara 2006-2010 dan 2011-2015. Pemotongan anggaran belanja pemerintah di Barat dan menurunnya pendapatan dari minyak di Timur Tengah telah meredam pemulihan pembelanjaan persenjataan global. Bagaimana pun, tidak seperti di Timur Tengah dan Afrika Utara, anjloknya harga minyak diharapkan memberi dampak positif untuk kawasan Asia-Pasifik, di mana pemerintah membiayai belanja energi.

Pertumbuhan pembelanjaan pertahanan Asia diharapkan mengalami akselerasi. Pada akhir dasawarsa, pembelanjaan regional diharapkan mencapai sekitar 550 miliar dollar AS, atau sekitar sepertiga dari seluruh pembelanjaan global.

Dalam kasus China, modernisasi militer selalu dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Namun tahun 2015, pertumbuhan ekonomi China hanya 6,9 persen. Meski dari tahun ke tahun anggaran pertahanan terus meningkat, terkait pelambatan ekonomi yang terendah selama 25 tahun terakhir, anggaran pertahanan China tahun 2016 hanya naik satu digit. Juru bicara parlemen China, Fu Ying, mengatakan, kenaikan anggaran pertahanan sebesar 6-7 persen tahun ini.

Di kawasan Asia-Pasifik, Indonesia adalah satu negara yang diharapkan akan menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam anggaran pertahanan. Menurut analisis dari IHS Inc., Indonesia akan mengalami pertumbuhan tercepat dalam anggaran pertahanan di kawasan Asia-Pasifik dalam lima tahun ke depan.

Anggaran pertahanan Indonesia, menurut prediksi IHS, diharapkan akan terus tumbuh sebesar 14 persen tiap tahun (pertumbuhan tahunan rata-rata) sampai akhir dasawarsa. Secara keseluruhan, pembelanjaan pertahanan Indonesia akan melampaui Rp 180 triliun (14,3 miliar dollar AS) tiap tahun pada 2020.

Menurut hasil kajian SIPRI yang , Singapura dan Myanmar adalah negara dengan alokasi belanja militer terbesar di ASEAN. Singapura mengalokasikan anggaran sebesar 9,8 miliar dollar AS pada 2014 atau 3,3 persen dari produk domestik bruto (PDB), sebagian besar untuk peningkatan kualitas alutsista. Sedangkan, Myanmar menjadi negara yang mengalokasikan anggaran militer terbesar terhadap PDB.

Dari seluruh negara anggota ASEAN, Indonesia adalah yang terkecil mengalokasikan anggaran PDB-nya untuk belanja militer, yakni hanya 0,78 persen. Meski mengalokasikan anggaran PDB paling kecil, namun jumlah total anggaran yang dibelanjakan sebesar 7,0 miliar dollar AS, jadi menempati urutan kedua, setelah Singapura, untuk tahun anggaran 2014. Jika dilihat dari alokasi dana (parsial), maka militer Singapura adalah yang paling siap tempur di ASEAN.

Masalah alokasi anggaran ini tampaknya sudah disadari oleh Pemerintah Indonesia. Maka ada rencana Pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran TNI menjadi rata-rata di atas 1,1 persen dari PDB. Presiden Joko Widodo menegaskan hal itu dalam rapat terbatas tentang Pembangunan Kekuatan TNI di Kantor Presiden, Jakarta, 23 Februari 2016. Presiden menggambarkan, anggaran TNI tahun 2015 sebesar 0,89 persen dari PDB. Sedangkan tahun 2014, sebesar 0,78 persen dari PDB.

“Sekarang paling tidak 1,1 persen dari PDB kita. Jika pertumbuhan ekonomi terus naik, paling tidak (pertumbuhan ekonomi) di atas 6 persen, akan muncul alokasi 1,5 persen dari PDB,” kata Presiden Jokowi, dalam rapat yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Panglima TNI Jenderal (TNI) Gatot Nurmantyo, dan pimpinan tiga matra TNI. Jika porsi tersebut dicapai, anggaran pertahanan Indonesia bisa mencapai Rp 250 triliun.

Menurut Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, peremajaan alutsista militer Indonesia dibagi dalam tahap 2010-2014 untuk kekuatan minimum, 2015-2019 untuk kekuatan inti (essential forces), dan 2020-2025 untuk kekuatan optimum. Saat ini, tahap pertama sudah selesai dengan dana Rp 122,2 triliun atau 74,98 persen dari target. Tahap dua dan tahap tiga, dialokasikan Rp 157,5 triliun.

Namun, terkait dengan beberapa penyesuaian, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah disusun proyeksi sekitar Rp 293,5 triliun untuk anggaran tahap kedua. Pembangunan militer Indonesia secara signifikan akan ikut mewarnai tren pergeseran penjualan senjata dunia ke kawasan Asia. ***

Artikel ini ditulis oleh: