Proses bongkar muat kontainer berlangsung di Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Kamis (8/1). Pada 2014 total volume bongkar muat atau trougput peti kemas TPKS Tanjung Emas mencapai 575.671 TEUs atau meningkat sekitar 15 persen dibandingkan pencapaian 2013. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Rei/nz/15.

Jakarta, Aktual.com — Indonesia Port Watch (IPW) mengungkapkan data-data terkait pembelian alat bongkar muat kualitas rendah oleh Direktur Utama PT Pelindo II, RJ Lino untuk beberapa pelabuhan di Tanjung Priok, Palembang, Pontianak, Jambi, Teluk Bayur dan Pangkal Balam. Proyek ini sempat disorot KPK dengan nilai mencapai lebih dari Rp 1 triliun.

Presiden IPW Syaiful Hasan menuding Lino sengaja melakukan inefisiensi pelayanan dengan pembelian alat-alat bongkar muat mahal dan kurang berkualitas.

“Kami menduga ada vested interest antara Lino dengan HDHM karena dulu saat dia menjabat sebagai Managing Director pelabuhan AKR, Guang Xi tahun 2008, produksi Crane HDHM pertama digunakan di pelabuhan tersebut,” kata Syaiful melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (26/7).

Untuk itu, Syaiful menyatakan bahwa pihaknya telah mengantongi sejumlah data terkait pembelian alat-alat tersebut. “Kami sudah siapkan data-datanya dan segera melaporkan kepada Penegak Hukum,” ujarnya.

Dirinya mengaku amat sangat menyayangkan alat-alat bongkar muat yang dimiliki Pelindo II saat ini under utility. Bahkan, beberapa sama sekali sudah tidak digunakan.

“Padahal, pembelian alat-alat bongkar muat tersebut harusnya untuk meningkatkan produktivitas pelabuhan. Sekarang malah banyak menganggur. Belum lagi Pelindo II dihukum KPPU senilai Rp5 miliar terkait kewajiban penggunaan alat bongkar muat Gantry Luffing Crane di dermaga 101, 101 utara dan 102 Tanjung Priok,” jelasnya.

Terlebih, sambung dia, alat-alat itu dibeli dari manufaktur lokal Tiongkok dengan harga yang sangat mahal. Seperti 14 Gantry Luffing Crane-nya dibeli dari Qing Dao Haixi Heavy-Duty Machinery (HHMC) dengan harga lebih dari Rp300 miliar, 10 Gantry Jib Crane dibeli dari Hunan Machinery Nanjing Engineering (HMNE) seharga lebih dari Rp200 miliar, 11 RMGC dari pabrikan Hua Dong Heavy Machinery  (HDHM) senilai lebih dari Rp200 miliar dan 3 Fix Crane dari HMNE senilai lebih dari Rp250 miliar.

“Padahal pabrikan yang sering dipakai untuk standar pelayanan pelabuhan yakni ZPMC di JICT atau KONE di Teluk Lamong. Jelas pembelian alat ini sama sekali tidak efisien. Akibatnya Lino terapkan tarif sepihak penggunaan alat yang membebani pemilik barang sehingga berpengaruh terhadap biaya produksi,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh: