Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada pertengahan Desember 2015 mendadak jadi sibuk membuat bantahan di media. Retno bergegas membantah klaim sepihak dari Arab Saudi, bahwa Indonesia telah menjadi bagian dan mendukung pembentukan koalisi militer, yang terdiri atas 34 negara berpenduduk mayoritas Muslim. Koalisi yang digalang Saudi ini dimaksudkan untuk memerangi terorisme global.
“Negara-negara yang disebutkan di sini telah memutuskan untuk membentuk aliansi militer yang dipimpin Arab Saudi untuk melawan terorisme, dengan pusat operasi gabungan yang berbasis di Riyadh, untuk berkoordinasi dan mendukung operasi militer,” demikian pernyataan bersama yang dirilis kantor berita Arab Saudi, SPA, 15 Desember 2015.
Sejumlah 34 negara tersebut, di antaranya: Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab, Pakistan, Bahrain, Banglades, Benin, Turki, Chad, Togo, Tunisia, Djibouti, Senegal, Sudan, Sierra Leone, Somalia, Gabon, Guinea, Palestina, Republik Federal Islam Comoro, Qatar, Cote d’Ivoire (Pantai Gading), Kuwait, Lebanon, Libya, Maladewa, Mali, Malaysia, Mesir, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria, serta Yaman.
Di dalam daftar tersebut memang tidak terdapat nama Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Namun, dalam pernyataan itu disebutkan juga bahwa lebih dari 10 negara Muslim lainnya, termasuk Indonesia, telah menyatakan dukungan untuk koalisi ini.
“(Ada) kewajiban untuk melindungi negara-negara Muslim dari kejahatan seluruh kelompok dan organisasi teroris, apa pun sekte dan namanya, yang memicu kematian dan korupsi di bumi ini dan bertujuan meneror orang-orang tak bersalah,” tambah pernyataan tersebut.
Konsep yang Tidak Jelas
Dalam konferensi pers yang tergolong langka, Wakil Putra Mahkota dan Menteri Pertahanan Saudi, Mohammed bin Salman menjelaskan, kampanye ini akan mengkoordinasikan upaya memerangi terorisme di Irak, Suriah, Libya, Mesir dan Afganistan. Namun, Salman tidak menjelaskan secara rinci, bagaimana mekanisme kerja sama itu dan apa saja langkah konkret yang akan dilakukan agar aliansi militer itu bisa dijalankan.
Ketidakjelasan konsep ini menjadi alasan diplomatis dari pihak Indonesia untuk tidak bergabung dalam aliansi militer yang digalang Saudi. Sejauh ini, Indonesia memang hanya mengirimkan pasukan ke luar negeri dalam konteks Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada Perang Teluk 1991, Indonesia menolak bergabung dalam pasukan multinasional yang dipimpin Amerika Serikat untuk menyerang Irak yang waktu itu dipimpin Presiden Saddam Hussein, karena pasukan itu tidak berdasarkan mandat dari PBB.
Pemerintah Indonesia juga mengaku bingung, kenapa Saudi secara sepihak sudah mengklaim negara-negara yang dianggap bergabung dengan koalisi mereka. Menlu Retno meminta Dubes Saudi mengirim prasyarat dan tujuan aliansi tersebut lebih dulu, sebelum menentukan sikap.
Saudi berjanji memberi penjelasan, namun jawaban Saudi belum diberikan pada pemerintah RI sejauh ini. “Kita tidak bisa melakukan komitmen terhadap satu kerja sama internasional, sebelum tahu detil bentuk dan modalitasnya,” kata juru bicara Kemlu Arrmanatha Nasir.
Penolakan serupa dinyatakan oleh Pakistan. Pakistan menegaskan, pihaknya tidak berniat ikut campur dalam koalisi negara mayoritas Muslim, yang digalang Saudi untuk memerangi kelompok ekstremis dan teroris global. Menteri Luar Negeri Pakistan Aizaz Chaudhry pada 16 Desember 2015 mengatakan, pihaknya tengah mempelajari rincian tentang koalisi militer itu.
“Memang betul, kami telah bekerja sama dengan Saudi dalam menangkal aksi teror. Namun saya tidak yakin Pakistan akan menjadi bagian dari aliansi militer tersebut,” kata Chaudhry. Pakistan dalam prinsipnya tidak pernah bergabung dalam aliansi militer apapun, tanpa adanya dukungan dari PBB. “Itu sebabnya kami menjauh dari konflik yang berkecamuk di Yaman,” tegasnya.
Malaysia Juga Belum Setuju
Malaysia ternyata juga belum setuju dengan format kerja sama militer yang ditawarkan Saudi. Menteri Pertahanan Malaysia Hishammuddin Hussein mengaku, pihaknya mendukung gagasan bersatunya negara mayoritas Muslim untuk memerangi terorisme. “(Namun) prakarsa Arab tidak mencakup komitmen pengerahan militer,” katanya. Hussein mengisyaratkan, Malaysia tidak akan mengirim pasukan untuk bergabung dalam koalisi militer itu.
Pihak Saudi menyadari, tanpa dukungan meluas dari dunia internasional, aliansi militer ini hanya akan menjadi macan kertas yang tidak bergigi. “Akan ada koordinasi internasional dengan kekuatan dunia dan organisasi internasional … dalam bentuk operasi di Suriah dan Irak. Kita tidak bisa menjalankan operasi ini tanpa koordinasi dengan legitimasi di wilayah tersebut dan komunitas internasional,” tutur Salman.
Namun, di sini juga terletak “jebakannya.” Ketika ditanya, apakah koalisi baru ini hanya akan fokus dalam memerangi kelompok ekstrem radikal ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau Negara Islam di Irak dan Suriah, Salman menyatakan, koalisi ini tidak hanya menargetkan ISIS, tapi juga semua organisasi teroris yang ada. Padahal, sejauh ini tidak pernah ada kesepakatan tentang siapa saja yang bissa disebut “teroris” dan akan diperangi secara bersama-sama itu.
Dalam pembentukan aliansi militer ini, Saudi tidak mengajak dan melibatkan Iran, Suriah, Hizbullah Lebanon, dan Irak. Ini adalah pihak-pihak yang kebijakannya tidak sejalan dengan kepentingan Saudi di Timur Tengah. Saudi yang mayoritas penduduknya Muslim Sunni bersaing dengan Iran, yang mayoritas berpenduduk Muslim Syiah, dalam menebar pengaruh di kawasan Timur Tengah.
Saudi merasa khawatir dengan meluasnya pengaruh Iran di Yaman, Lebanon, Irak, dan Suriah. Saudi sibuk memerangi warga Houthi, warga Muslim Syiah di Yaman, yang menggulingkan penguasa tak populer Yaman yang didukung Saudi. Saudi juga memusuhi Presiden Suriah Bashar al-Assad, dan mendukung kelompok oposisi bersenjata yang ingin menggulingkan Assad. Iran sebaliknya justru mendukung Assad dalam melawan pemberontakan di dalam negeri, mendukung warga Houthi di Yaman, dan mendukung Hizbullah Lebanon dalam melawan Israel.
Patut diduga, bahwa yang dimaksud “teroris” oleh Saudi bukan cuma kelompok militan ISIS, tetapi juga kelompok-kelompok yang dianggap mendukung atau berafiliasi dengan Iran. Mereka antara lain seperti elemen-elemen pendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad, Hizbullah, Houthi, dan sebagainya.
Didukung di Dalam Negeri
Jika Indonesia terlibat dalam aliansi militer yang digalang Saudi, Indonesia akan terseret dalam tarik-menarik kepentingan dan persaingan pengaruh antar-kubu di Timur Tengah, yang petanya selalu berubah. Indonesia akan diperalat untuk kepentingan “petualangan politik” Saudi di Timur Tengah. Indonesia juga berpotensi untuk dibenturkan dengan Iran, Suriah, Lebanon, dan Irak, yang dengan semua pihak itu sebetulnya Indonesia sudah memiliki hubungan yang baik.
Di dalam negeri, sikap pemerintah didukung oleh Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Din Syamsuddin. Tokoh Muhammadiyah ini setuju dengan sikap Indonesia, untuk tidak ikut campur dengan koalisi militer bentukan Arab Saudi, sebab hal itu akan menyalahi prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. “Saat ini Indonesia harus jadi penengah. Tidak usah ikut-ikutan, apalagi kalau hanya jadi pelengkap, nanti malah menderita,” ujar Din pada 17 Desember 2015.
Sedangkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan, TNI tidak masuk dalam aliansi atau koalisi militer melawan terorisme dari kelompok ekstremis maupun ISIS. Sebab, Presiden Joko Widodo sudah menyatakan, Indonesia tidak masuk dalam koalisi atau aliansi militer apa pun.
“Presiden bilang, semuanya dianalisis dulu. Jangan sampai gegabah ambil keputusan. Tapi yang jelas, kita ini kan dalam pembukaan UUD 45 bebas aktif. Jadi kita tidak akan masuk ke koalisi apa pun juga,” kata Gatot, seusai Rapat Pimpinan TNI 2015 di Mabes TNI, 18 Desember 2015. ***
Artikel ini ditulis oleh: