Jakarta, Aktual.com — Undang-Undang Minerba Nomor 4 tahun 2009 mengamanatkan agar perusahaan pertambangan di dalam negeri tidak lagi mengekspor bahan mentahnya dan diwajibkan untuk membangun smelter (pabrik pemurnian) di dalam negeri agar hasil tambang yang akan diekspor bisa terlebih dulu dimurnikan. Ketika banyak perusahaan tambang lain terpaksa menghentikan kegiatan ekspor sembari mempersiaapkan smelternya, namun pada kenyataannya, perusahaan tambang besar sekaliber PT Freeport Indonesia (PTFI) justru mendapatkan perlakuan berbeda.

PTFI hingga saat ini masih bisa melakukan ekspor bahan mentahnya tanpa melalui proses pemurnian. Perlakuan istimewa ini dilakukan dengan berlandaskan pada nota kesepahaman (MoU) relaksasi antara PTFI dengan Kementerian ESDM yang jelas-jelas berlawanan dengan amanat UU Minerba.

Mengapa hal tersebut dibenarkan Pemerintah? Benarkah posisi MoU lebih tinggi dari UU?

Ahli Hukum Augustinus Hutajulu menerangkan, yang pertama harus diperhatikan dengan cermat adalah mengenai keberadaan MoU yang merupakan kelanjutan dari perjanjian Kontrak Karya (KK) antara Indonesia dengan Freeport pada 30 Desember 1991. Perjanjian KK ini memiliki kekuatan yang setara dengan UU (Pacta Sunt Servanda, bandingkan pasal 1338 KUHPerdata).

Menurut pasal 169 UU Minerba No. 4 Tahun 2009 bagian ketentuan peralihan, ‘pada saat UU ini mulai berlaku, kontrak karya dan perjanjian  pengusahaan pertambangan batubara masih tetap diberlakukan sampai jangka waktu berahirnya kontrak/perjanjian’.

“Jadi nanti kalau KK itu sudah berakhir pada 2021, maka tidak ada lagi perpanjangan kontrak. Tetapi kalau permintaan perpanjangan Freeport dikabulkan, maka tidak berupa KK lagi, melainkan berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau paling jauh berupa IUP khusus yang sesuai dengan UU Minerba No 4/2009 itu,” kata Augustinus saat berbincang dengan Aktual di Jakarta, Selasa (8/12).

Terkait kewajiban membangun Smelter, ia menjelaskan bahwa sejatinya kewajiban tersebut diberlakukan pada perusahaan-perusahaan yang IUP-nya berdasarkan UU Minerba No. 4/2009.

“Saya tidak melihat dalam Kontrak Karya Freeport tentang adanya kewajiban pembangunan Smelter. Jadi pemerintahan Jokowi mengkehendaki dibangunnya smelter itu adalah sebagai bukti adanya itikad baik dari Freeport yang akan menjadi bagian dari pertimbangan apakah pada setelah kontrak berahir tahun 2021 Freeport akan diberi IUP/IUP Khusus atau tidak,” jelas dia.

Dalam pasal 1338 KUH Perdata memang disyaratkan bahwa suatu perjanjian harus dilasanakan dengan itikad baik.

“Coba bayangkan jika Freeport tidak bisa mengekspor hasil yang ditambangnya sementara KK masih berlaku, maka disamping telah melanggar isi KK itu sendiri, juga akan melanggar prinsip dalam hukum kontrak Internasional, serta akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa. PHK, Pendapatan Negara dan lainnya,” imbuh dia.

Dengan begitu, jelas bahwa carut marut yang terjadi saat ini adalah dampak negatif dari adanya KK, sehingga menyulitkan bangsa Indonesia dalam meningkatkan nilai tambah terhadap dunia pertambangan dalam negeri.

“Juga pelaksanaan kontrak divestasi sebesar 51 persen yang dilanggar Freeport, serta pengelolaan limbah dari proses tambang yang merusak lingkungan,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka