Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Mesirmemutuskan hubungan diplomatik kepada Qatar. (ilustrasi/aktual.com)

Ada yang mengejutkan menyusul keputussan bersama Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Mesir, untuk memutuskan hubungan diplomatik kepada Qatar. Sebab sejak 1973, Qatar pun tergabung bersama-sama negara-negara tersebut dalam Dewan Kerjasama Teluk atau Gulf Cooperation Council (GCC). Adapun yang termasuk GCC adalah Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania, dan Qatar. Jadi, kenapa sekarang tiba-tiba Qatar dikorbankan dari persekutuan tersebut?

Itu baru sebagian dari keanehan yang berlangsung. Keanehan berikutnya lebih mengherankan lagi. Saat ini bagi AS Qatar merupakan “mahkota” dari hegemoni AS di Timur-Tengah. Tidak berlebihan memang. Sebab saat ini ada 10 ribu serdadu AS yang bercokol di Qatar. Bukan itu saja. Qatar juga jadi basis CENTCOM AS yang mengontrol seluruh perangkat tempur Angkatan Udara-nya/ Selain sebagai Markasm utama dan Pusat Operasi Angaktan Udara AS.

Namun, pertarungan geopolitik antar negara-negara GCC yang notabene merupakan negara-negara satelit AS, agaknya jauh lebih berperan besar dalam mendorong Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Mesir, secara bersama memutuskan hubungan diplomatik terhadap Qatar.

Masalahnya bukan sekadar karena Qatar mendukung Ihwanul Muslimin di Mesir sehingga menentang kudeta militer Jenderal Al Sisi terhadap Presiden Mesir Mursi beberapa tahun yang lalu. Atau karena Qatar bersama-sama dengan iran dan Suriah mendukung secara intensif perjuangan Hamas di Palestina.

Yang mengganggu kaum mapan atau establishment di Arab Saudi adalah kedekatan Qatar dan Iran sebagai konsekwensi dari dukungan kedua negara terhadap Palestina. Maupun dukungan Qatar dan Iran bersama-bersama mendukung pemerintahan Presiden Bashar al Assad menghadapi kaum pemberintakan dari kalahan Jihadis yang dibina AS.

Inilah konflik di bawah permukaan yang sesungguhnya berlangsung di kawasan Timur-Tengah saat ini. Betapa saat ini di kalangan negara-negara GCC sendiri sedang berlangsung pertarungan geopolitik yang mengarah pada terciptanya dua kutub di internal GCC. Arab Saudi-Kuwait-Uni Emirat Arab-Bahrain-Yordania-Mesir versus Iran-Suriah-Qatar.

Fakta bahwa sejak era 1980-an Arab Saudi dan Iran merupakan musuh bebuyutan, maka merebaknya informasi bahwa Iran dan Qatar telah membangun kerjasama intensif terkait ekspor-impor minyak, dipastikan telah mengganggu hegemoni Arab Saudi yang merasa merupakan poros utama di Timur Tengah.

Dalam konstalasi global yang mana perkembagnan terkini di Qatar harus dipandang dari perspektif strategi globa AS di kawasan Timur Tengah, maka momentum embargo dan isolasi terhadap Qatar yang terjadi hanya beberapa minggu setelah berlangsungnya KTT Islam Arab Amerika, nampaknya selaras dengan dugaan tim analisis Aktual bahwa KTT tersebut sejatinya merupakan forum untuk tata ulang politik-ekonomi-pertahanan di kawasan tersebut.

Agaknya, gerakan serentak Arab Saudi-Kuwait-Bahrain-Uni Emirat Arab-Mesir memutuskan hubungan diplomatik terhadap Qatar, bisa dibaca sebagai cipta kondisi menuju tata ulang politik dan ekonomi baru di Timur Tengah. Selain Presiden Donald Trump memetakan siapa siapa negara-negara Arab yang masih setia terhadap AS, dan mana yang masih setengah hati seperti Turki, dan mana yang benar-benar kontra AS seperti Iran dan Suriah.

Ketika prakondisi tersebut berhasil tercipta menyusul embargo dan isolasi terhadap Qatar, maka besar kemungkinan agenda berikutnya adalah menciptakan pergolakan politik dan militer di Timur Tengah. Sehingga mengarah pada kenaikan harga minyak dan meningkatnya indusri dan perdagangan senjata.

Begitupun skenario ini bisa berantakan ketika nantinya harga minyak tetap tidak melambung tinggi, meskipun pergolakan di Timur Tengah semakin memanas. Jika itu terjadi, maka bumerang bagi Arab Saudi dan sekutu-sekutunya.

Menariknya, meskipun polarisasi antar negara-negara Timur Tengah semakin menajam menyusul embargo dan isolasi negara-negara GCC terhadap Qatar, namun AS sepertinya tetap membangun hubungan baik dengan Qatar. Sepertinya, AS dengan sengaja meminjam tangan-tangan Arab Saudi dan para sekutunya untuk melumpuhkan Qatar, sebagai prakondisi untuk menggulingkan dinasti Hamad Al Khalifa, dan menggantikannya dengan dinasti keluarga lainnya yang lebih pro kepentingan AS dan Arab Saudi.

Tetap bercokolnya 10 ribu serdadu AS berikut basis CENTCOM sebagai pusat operasi Angkatan Udara AS, fakta telah berbicara dengan sendirinya. Bahwa skenario isolasi dan embargo terhadap Qatar, merupakan bagian dari skenario Proxy War yang diciptakannya untuk mengkonsolidasikan kembali hegemoninya di Timur Tengah.

Metode atau modus operandi yang dimainkanya memang diarahkan untuk melumpuhkan Qatar. Bayangkan. Seperti sektor ekonomi contohnya, atau aspek budaya, pariwisita dan lainnya meluas di Qatar Betapa perbatasan ditutup, lalu lintas udara dan laut dengan Qatar dihentikan, Etihad Airways, maskapai penerbangan UEA, menunda penerbangan ke/dari Qatar mulai Selasa pagi (6/5), investor dan para perusahaan Saudi di Qatar didesak untuk melakukan hal sama. Bahkan tentara Qatar yang kini terlibat perang (keroyokan) di Yaman pun akan dipulangkan dengan dalih ‘perlindungan keamanan nasional’ karena Qatar dipandang oleh Arab Saudi telah mendukung kelompok sektarian dan teroris seperti al-Qaidah, ISIS, IM, dan lainnya yang sering mengganggu stabilitas kawasan.

Mampukah Qatar seperti halnya Iran, tetap bertahan dari embargo dan isolasi yang dimotori Arab Saudi dan sekutu-sekutunya? Pada tataran ini bukan saja Arab Saudi, bahkan AS pun telah bermain judi dengan resiko yang amat tinggi.

Hendrajit