Wisatawan mancanegara melintas kawasan Monumen Bom Bali, Badung, Bali, Kamis (25/2). Pemerintah Australia melalui Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan mengeluarkan peringatan perjalanan (travel advisory) bagi warga Australia yang berada atau akan pergi ke wilayah Indonesia seperti Jakarta, Bali dan Lombok untuk mewaspadai kemungkinan serangan terorisme. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/foc/16.

Kuta, Aktual.com – Tak pernah terbayang sebelumnya dalam benak Ni Luh Erniati akan menghidupi kedua anaknya yang masih kecil-kecil seorang diri. Ya, suaminya yang bernama I Gede Badrawan harus meregang nyawa pada Sabtu malam, 12 Oktober 2002 silam. Kala itu, bom yang dirancang oleh Imam Samudera Cs menggelegar dahsyat di Legian, Kuta.

I Gede Badrawan yang bekerja sebagai head waiter di Sari Club menjadi korban ledakan dimalam nahas yang dikenal dengan peristiwa bom Bali I itu. Ni Luh Erniati menuturkan, malam itu dia tengah menjaga buah hatinya bersama I Gede Badrawan yang masih berusia 9 dan 1,5 tahun. “Saat kejadian, saya sedang di kamar kos saya. Saya dengar suara ledakan keras,” kata Erniati ketika ditemui wartawan, Rabu (12/10).

Dia lantas mencari arah sumber suara yang menurutnya tak jauh dari lokasi suaminya bekerja. Sesampainya di tempat kerja suami, Erniati mengaku melihat banyak sukarelawan tengah mengevakuasi korban.‎ Dalam hatinya, perempuan kelahiran 19 Februari 1971 itu, sang suami masih dalam keadaan hidup. Namun, melihat banyak korban berjatuhan yang dievakuasi relawan, sempat terbersit harapan hidup suaminya kecil.

Kendati begitu, Erniati tetap membesarkan hatinya. Dia masih percaya sang suami masih hidup. Dia pun lantas mencari keberadaan Badrawan ke setiap rumah sakit yang diketahuinya. “Saya masih berharap dia (Badrawan) datang kepada saya.”

Tiga bulan lamanya dia menunggu kehadiran sang suami. Penantian itu sirna manakala tim Forensik RSUP Sanglah Denpasar memberitahunya jika salah satu jasad teridentifikasi sebagai I Gede Badrawan. Dari sana, dia menetapkan hati untuk memulai hidup baru tanpa kehadiran Badrawan di sisinya.

“Banyak orang bilang waktu itu saya masih terlalu muda untuk menyandang status janda. Mohon maaf saya menangis, bulan ini (Oktober) biasanya perasaan saya sensitif.”

Dia lantas berpikir keras untuk menghidupi kedua anak lelakinya. Dia berupaya keras mendapatkan pekerjaan. “Dengan skill yang tidak memadai, saya berusaha mencari pekerjaan untuk menghidupi anak saya, untuk memberi pendidikan kepada mereka.”

Erniati akhirnya mendapatkan pekerjaan. Namun, kejiwaannya masih terguncang. Kondisi psikologinya begitu labil. Tak jarang dalam bekerja dia kerap sembari menangis. Hal itu tentu saja tanpa disadarinya. Perempuan yang kini menjadi Ketua Yayasan Isana Dewata itu mengaku secara psikologis masih belum stabil jika mengenang peristiwa kelam yang dialaminya 14 tahun silam itu.

“Saya masih butuh pendampingan, begitu juga dengan korban lainnya. Maka, saya katakan jika keberadaan trauma center itu begitu penting bagi kami dan juga korban lainnya seperti trafficking, KDRT dan lainnya.”

Dia juga berharap pemerintah memperhatikan secara serius anak-anak korban bom Bali yang menurutnya merupakan generasi penerus. Anak-anak korban bom Bali, Erniati melanjutkan, butuh dukungan untuk bangkit dari keterpurukan. “Anak-anak itu tunas bangsa. Mereka butuh dukungan untuk bangkit dari keterpurukan,” tutup Erniati.

Laporan: Bobby Andalan

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu