Jakarta, Aktual.com — Pemerintah melalui Perpres No 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan berencana akan menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 April 2016 nanti.

Untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) akan naik 19 persen, dari Rp19.225 menjadi Rp23.000 per orang per bulan. Sedang untuk peserta mandiri naik sebesar 30%.

“Jika iuran kepesertaan mandiri dipaksakan naik, maka potensi gagal bayar dari peserta mandiri akan semakin tinggi,” tandas pengamat kebijakan sosial Perkumpulan Prakarsa, Syukri Rahmadi melalui siaran pers yang diterima Aktual.com, Selasa (22/3).

Dengan kondisi tersebut, kata dia, akan berdampak pada memburuknya kualitas dan akses layanan BPJS Kesehatan. Dan dalam jangka panjang, hal ini membuat keberlanjutan pembiayaan jaminan kesehatan universal di Indonesia akan kian mengkhawatirkan.

Apalagi berdasar data BPJS Kesehatan sendiri, di tahun lalu terdapat 30%-35% rasio tagihan macet dari peserta iuran mandiri. Dengan kata lain, 18-20 juta orang peserta BPJS Kesehatan terlambat membayar, tidak mampu membayar, atau tidak bersedia membayar iuran kepesertaan.

Argumen pihak BPJS, bahwa kenaikan iuran harus dilakukan sebagai akibat dari defisit berjalan sebesar Rp4 triliun sebenarnya tidak fair.

“Justru dengan menaikkan iuran, BPJS Kesehatan sesungguhnya tengah menutup mata atas praktik inefisiensi dan kebocoran yang terjadi dalam pelayanan BPJS Kesehatan,” kecam Syukri

Menurutnya, kenaikan tarif BPJS Kesehatan akan membebani 60-65 juta peserta iuran mandiri, terutama Pekerja Bukan Penerima Upah yang umumnya bekerja di sektor informal.

“Maka mestinya, iuran mandiri tidak naik, justru iuran PBI yang dinaikkan agar kualitas kesehatan dengan pelayanan kelas 3 semakin memadai,” sara dia.

Direktur Eksekutif Prakarsa, Ah Maftuchan menambahkan, pemerintah, baik Presiden, Wakil Presiden, maupun menteri kesehatan harus berani mendorong BPJS Kesehatan lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola dana iuran BPJS.

“Sehingga berbagai kecurigaan dan kemungkinan defisit bisa dicegah,” tandas dia.

Selain soal efisiensi dan akuntabilitas, pemerintah dan dewan jaminan sosial nasional harus memastikan bahwa BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dikelola secara terbuka dan non-profit.

“Perlu ada ‘revolusi mental’ di kalangan petinggi BPJS. BPJS Kesehatan adalah lembaga wali amanat yang sifatnya non-profit, tidak etis jika petinggi dan karyawan BPJS mendapatkan gaji yang sama dengan mereka yang bekerja di BUMN profit,” tegasnya.

Untuk itu, peninjauan ulang standar gaji dan remunerasi di BPJS Kesehatan perlu dilakukan agar lebih sejalan dengan semangat gotong royong dan nirlaba.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan