Dalam penggunaan dana BLBI oleh BDNI ditemukan penyimpangan di antaranya transaksi pembelian valas dilakukan saat devisa netto melampaui ketentuan yang berlaku, melakukan penempatan baru dengan menambah saldo debet, melakukan pembayaran dana talangan keada kreditur luar negeri untuk menutupi kewajiban nasabah grup terkait pemberian kredit rupiah kepada grup terkait yang dananya digunakan untuk transaksi di pasar uang antar bank.

Sehingga BLBI mewajibkan BDNI untuk mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian “Master Settlement Aqcuisition Agreement” (MSAA). BPPN dengan tim aset manajemen Investasi (AMI) menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) yang berjumlah Rp28,048 triliun.

Dalam MSAA juga disepakati penyelesaian JKPS dengan pembayaran iuran tunai sebear Rp1 triliun dan Rp27,495 triliun kepada perusahaan yang dibentuk BPPN untuk melakukan penjualan aset yaitu PT Tunas Sepadan Investama (TSI).

Sesungguhnya pinjaman ke petambak udang yang diberikan BDNI sebagai modal kerja seharusnya dibayarkan PT DCD dan PT WM kepada BDNI sejak Februari dan Deember 1998. Tapi untuk memenuhi isi MSAA, Sjamsul Nursalim menyerahkan aktiva/aset berupa piutang BDNI kepada tim valuasi BPPN sejumlah Rp4,8 triliun seolah-olah piutang lancar tapi setelah audit disimpulkan bahwa kredit petambak plasma digolongkan macet sehingga Sjamsul diharuskan mengganti kerugian kepada BPPN.

Syafruddin lalu memerintahkan untuk menunjuk konsultan independen dan legal advisor guna melakukan perhitungan atas “sustainable” utang petambak plasma, inventarisasi kebutuhan modal kerja, kebutuhan investasi petambak plasma dan verifikasi jaminan hutang petambak plasma.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara