Yudi Latif
Yudi Latif

Bhikkhu Dhammosubho, dari Sangha Theravada Indonesia, setiap tahun datang ke rumahku saat ulang tahun, dengan bingkisan tanda cintanya. Aku pun merasa jadi orang terburuk di dunia, karena tak pernah ingat ulang tahun orang lain bahkan ulang tahun diri sendiri.

Kerendahan hati dan keluasan cintanya merefleksikan pancaran iman dan ilmu yang cemerlang. Iman itu ibarat lampu senter yang memberi kita keyakinan untuk mengarungi gelap malam. Namun, sehebat apa pun senter, kemampuannya menuntun kita meniti jalan yang benar tergantung daya baterai yang dikandungnya. Baterai itu adalah ilmu pengetahuan.

Iman dan ilmu harus dihela dalam satu tarikan nafis, sebagai dua entitas yang tak boleh terpisah. Kitab suci merujuk keduanya sebagai sumber ketinggian kemuliaan manusia. Hanya dengan keterpaduan iman dan ilmu, manusia bisa menempuh kehidupan di jalan cahaya.

Bahasa Indonesia memiliki sebutan yang pas untuk kata iman itu, yakni “percaya”. Berasal dari kata “bercahaya”. Tersirat pengertian bahwa orang beriman itu hatinya harus memancarkan cahaya (pencerahan); bahwa cermin hati yang kotor tak bisa memantulkan nur Ilahi dan tak bisa jadi wahana bercermin diri.

Untuk membersihkan hati yg kotor diperlukan jalan spiritualitas. Dari bahasa Latin, ‘spiritus’, berarti ‘menyala’ (nyalakan cahya hati) atau ‘bernafas’ (segarkan rongga jiwa).

Dalam kosmologi Nusantara, cahaya jiwa itu dinyalakan melalui konektivitas yang dipancarkan ke tiga arah: relasi harmonis dgn “Dunia Atas” (Tuhan), “Dunia Tengah” (manusia) dan “Dunia Bawah” (alam). Sumbu yang menyatukan ketiga relasi itu bernama “kaidah emas” (golden rule). Dalam kalimat negatif, kaidahnya: “Janganlah berbuat sesuatu kepada orang lain yang engkau sendiri tak ingin diperlakukan seperti itu.” Dalam kalimat positif, tuntunannya: “Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.”

Semua manusia adalah ahli waris jagad yang sama dengan hulu mata air spiritualitas yang sama. Kebahagiaan hidup bersama akan terengkuh saat kita bisa menyatukan iman dan ilmu sebagai pelita jiwa, dengan membangun relasi harmonis dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan alam semesta. Semua relasi itu bisa dihidupi manakala di pusat jiwa kita terpancar api cinta.

Yudi Latif