Pasukan pro Presiden Bashar al Assad menjadi target serangan udara AS. (ilustrasi/aktual.com)

Selama ini para peminat dan pemerhati peristiwa internasional tahu bahwa Rusia mendukung pemerintahan Bashar al Assad dalam menghadapi kelompok-kelompok pemberontak bersenjata yang didukung AS dan NATO. Namun belum banyak yang tahu bagaimana cara pandang Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai orang nomor satu Rusia sehingga secara gigih mendukung tetap berkuasanya pemerintahan Assad.

Buat Presiden Rusia Vladimir Putin, Suriah bukan sekadar soal melindungi Bashar al Assad sebagai presiden. Ada hal yang jauh lebih penting. Mencegah jangan sampai Suriah mengalami nasib seperti Libya. Menggusur Presiden Muamar Khadafy melalui perang saudara. Dengan makna lain jangan sampai Suriah jadi Libya Baru yang kacau-balau dan terpecah-belah.

Bagi Putin, ulah kelompok-kelompok anti-Khadafy yang bermuara pada berakhirnya pemerintahan Khadafy, pada perkembangannya telah menggiring Libya menjadi negara-bangsa yang dilanda kekacauan dan perpecahan nasional. Seperti halnya yang kemudian terjadi di Afghanistan di Asia Tengah dan Somalia di Afrika. Padahal pasukan AS dan NATO bercokol di kedua negara tersebut sejak kedua negara tersebut dikuasai pasukan multi-nasional tersebut.

Terkait dengan kerangka pandangan tersebut, Putin lebih condong memilih sarana politik untuk menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung selama enam tahun di Suriah.

Dalam wawancara khusus dengan Megyn Kelly pada saat berlangsungnya the 21st St. Petersburg International Economic Forum, sejak AS dan NATO memaksakan terjadinya perubahan rejim pemerintahan di Libya melalui dukungan aktif terhadap kelompok-kelompok pemberontak bersenjata yang berafiliasi dengan Al Qaeda, negeri tersebut benar-benar dalam keadaan kacau-balau.

Semua ini, menurut mantan Kepala badan intelijen Rusia KGB itu, semua itu gara-gara adanya campur-tangan asing. “Andaikan tidak ada campur tangan asing, perang saudara di Libya tak mungkin terjadi.”

Mengenai tuduhan pihak Barat bahwa Suriah di bawah pemerintahan Assad memiliki senjata kimia, menurut Putin itu merupakan pemutar-balikkan fakta. Menurut pria yang kala muda penggemar musik rock Pink Floyd ini, kelompok separatis Kurdistan di Irak, malah justru punya senjata kimia. Bukan Suriah.

Hal ini diperkuat oleh temuan dari Carla de Ponte dari the UN’s Independent International Commission of Inquiry for Syria pada 2013 bahwa justru kelompok pemberontak lah yang punya senjata kimia. Bukan tentara Suriah.

Sebenarnya bukan Putin saja yang memandang isu kepemilikan senjata kimia oleh Suriah sejatinya merupakan penyesatan informasi yang dimaksudkan untuk menyudutkan pemerintahan Assad.

Apalagi Putin dalam menjawab pertanyaan Kelly seputar isu ini, secara blak-blakan mengatakan bahwa skenario semacam ini memang dipersiapkan dan direncanakan oleh kelompok-kelompok anti Assad di sebuah distrik Suriah, dekat Damaskus.

Maka itu tuduhan terhadap Assad menyusul serangan tentara Suriah yang kedapatan menggunakan senjata Sarin, menurut Putin hal itu memang direkayasa untuk mengkambing-hitamkan Presiden Assad.

“Logikanya, buat apa Assad menggunakan senjata sarin sementara dia tahu persis bahwa hal itu pasti akan dijadikan dalih pihak asing untuk melancarkan serangan militer berskala besar dan menginvasi negerinya? Assad bisa saja bermasalah, tapi tidak untuk bunuh diri. ” Begitu tutur Putin.

Menariknya, pandangan Putin tersebut juga didukung oleh Ron Paul, mantan anggota kongres Amerika Serikat. Bagi Ron Paul, sama sekali tidak masuk akal Assad memerintahkan penggunaan gas sarin. Lebih jauh Paul tandaskan, bahkan bagi kalangan yang sama sekali tidak terlibat dalam polarisasi antara kubu pro Assad dan pro pemberontak alias para pengamat yang netral dan obyektif, tudingan penggunaan sarin oleh Assad sama sekali tidak masuk akal.

Buat kita-kita di Indonesia, sepertinya ada sebuah kesepakatan umum yang mungkin sejalan dengan Sikap Putin. Demi untuk kepentingan rakyat Suriah, jangan sampai Suriah jadi Libya Baru.

Hendrajit