Jakarta, Aktual.com — Terkait dengan usaha PT Freeport Indonesia mengobok-obok pejabat dan elit di Indonesia, pengamat kebijakan energi Yusri Usman meminta agar pemerintah fokus pada subtansi pokok masalah, yaitu perpanjangan Kontrak Karya Freeport. Pasalnya, Menteri ESDM Sudirman Said beralasan langkah yang dilakukannya sudah benar dengan berlandaskan PP 77 tahun 2014.

“Pesan konstitusi sudah jelas mengacu pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang diakomodir dalam UU Minerba nomor 4 tahun 2009 pasal 112 ayat 1 dan PP nomor 23 tahun 2010 pasal 97 yang diperbaiki oleh PP nomor 24 tahun 2012 yang pada intinya dinyatakan bahwa setelah 5 tahun berproduksi maka semua perusahaan tambang mineral dan batubara diharuskan menjual 51% sahamnya kepada Pihak Nasional  Indonesia dan harus terlaksana dalam waktu 5 tahun setelah produksi,” ujar Yusri Usman kepada wartawan di Jakarta, Senin (30/11).

Dikatakan Yusri, jika berpedoman pada ketentuan Perundangan Undangan dan Peraturan Pemerintah dan melihat kasus PT Freeport Indonesia (PT FI) sebaai anak perusahaan Freeport Mc Moran Cooper and Gold yang memiliki perjanjian kontrak Karya dengan Pemerintah Indonesia pada tahun 1967 dan diperpanjang pada tahun 1991 di dalam pasal 24 Kontrak Karya tersebut dinyatakan tegas bahwa 51% sahamnya harus dijual kepada pihak Nasional Indonesia. Selambat lambatnya sudah harus terealisasikan pada tanggal 30 Desember 2011, akan tetapi faktanya sampai saat ini PT FI baru menjual 9.36 % sahamnya ke Pemerintah RI.

“Dari beberapa kali pembicaraan antara PT FI dengan Pemerintah RI dalam waktu ke waktu, selalu PT FI menjanjikan akan menjual saham lagi ke Pemerintah daerah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika sebagai Kabupaten penghasil, namu angin sorga tersebut tidak ada realisasinya. PT FI ‘memainkan politik adu domba antara Pemda Propinsi dan Pemda tingkat 2 Mimika,” tegasnya.

Menurutnya, PT FI selalu mengemas setiap penjual saham ini dengan negosiasi kontrak karya yang pada intinya bahwa PT FI meminta perpanjangan kontrak sampai tahun 2014 dan PT FI sangat enggan membangun smelter dan enggan membayar royalti emas yang dihasilkan sesuai aturan yang berlaku (3.75%) yang pada kenyataannya sampai saat ini hanya membayar 1% saja, meskipun saat ini telah terjadi kesepakatan bahwa royalti untuk emas sudah menjadi 3.75%.

“Semua keenganan PT FI memenuhi kewajiban yang melanggar Undang-Undang Minerba dan Peraturan Pemerintah seperti membangun smelter dan penjualan saham disebabkan bahwa selama ini PT FI telah memberikan konstribusi 70% atas pendapatan Freeport McMoran Cooper and Gold diseluruh dunia. Dan PT FI hanya membayar royalti emas sebesar 1% dan tembaga 3.75% saja. Sedangkan kalau proses hilirisasi dengan membangun smelter dilaksanakan akan terbongkar semua jenis mineral berharga lainnya yang dapat dihasilkan selain emas, perak dan tembaga,” tegasnya.

“Pejabat-pejabat ESDM bekerja seperti dan untuk kepentinga PT Freeport Indonesia, bukan untuk kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia. Meskipun nama pejabatnya tidaklah penting disebutkan, namun yang lebih penting disebutkan adalah kelakuannya,” ujarnya.

Padahal dalam UU Minerba nomor 4 tahun 2009 di pasal 169 dinyatakan bahwa Kontrak Karya yang akan berakhir akan disesuaikan dengan UU nomor 4 tahun 2009. Artinya PT FI harus mengikuti semua ketentuan dalam UU nomor 4 tahun 2009 pada pasal 129 ini termasuk wajib membayar 10% dari keuntungan bersih kepada Pemerintah dengan rincian 4% kepada Pemerintah Pusat dan 6% untuk Pemerintah daerah.

“Faktanya sampai hari ini semuanya dilanggar oleh PT FI dengan berkilah bahwa kontrak karya merupakan lex specialist, akan tetapi dia juga mengingkari untuk melaksanakan isi pasal 24 kontrak karya tersebut,” jelas Yusri.

Sesungguhnya pembelian saham Freeport Indonesia secara perhitungan bisnis sangat layak walaupun harganya cukup mahal dan banyak bank serta lembaga keuangan yang bersedia membiayai jika uang Pemerintah tidak mampu. Hasil ‘enterprice value’ PT Freeport Indonesia adalah sekitar USD25 miliar dan nilai 51% sahamnya adalah sekitar USD12.5 miliar dan hitungan bisnisnya cukup bagus alias ” bankable” disebabkan pada normalnya EBITDS PT Freeport Indonesia adalah sekitar USD 8 miliar atau net marginya sekitar USD 6 miliar pertahun.

“Sehingga wajar banyak Bank dan Lembaga keuangan dunia yang bersedia membiayai transaksi divestasi saham tersebut.
Sehingga dalam divestasi saham PT FI hendaknya diutamakan kepemilikan saham oleh Pemerintah Indonesia, baik di level pusat , Propinsi terutama Kabupaten Penghasil yaitu Kabupaten Mimika sangat perlu diberikan kesempatan untuk memiliki saham paling tidak 10 %,” tegasnya.

Propinsi dan kabupaten perlu diberikan dikarenakan di kabupaten Mimika sudah terjadi konfik sosial, tailing dan kerusakan lingkungan hidup dan sosial akibat dari aktifitas tambang tersebut. Suatu hal yang harus dihindari adanya pihak swasta terutama di Jakarta yang berkeinginan membeli saham PT Freeport Indonesia dengan mengkondisikan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah tidak mampu, terkecuali pembelian saham tersebut dilakukan melalui pasar modal, mengingat ketentuan dlm kontrak karya dimungkinkan penjualan 20% saham PT Freeport melalui Pasar Saham Indonesia.

“Pemilik 51% saham PT Freeport Indonesia yang harus didivestasi adalah sewajarnya terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemprov Papua dan Pemkab Mimika dan BUMN (Antam dengan Inalum ). Sehingga mengugat Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2014 yang diduga bertentangan dengan Undang Minerba nomor 4 tahun 2009 adalah jalan terbaik untuk mengamankan kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia,” sebutnya.

Adapun catatan bahwa PP nomor 77 tanun 2014 yang menimbulkan kontroversi terkhusus pasal 7 C bahwa  Pemegang IUP dan IUPK yang melakukan perubahan status perusahaan dari Penanaman modal dalam negeri menjadi penanaman modal asing, kepemilikan saham asingnya paling banyak: a.75 % untuk IUP eksplorasi & IUPK eksplorasi b. 49% untuk IUP& IUPK Operasi Produksi yang tidak melakukan sendiri kegiatan pengolahan dan pemurnian c. 60 % untuk IUP & IUPK Operasi Produksi yang melakukan sendiri pengolahan dan pemurnian dan d. 70 % untuk IUP & IUPK Operasi produksi yang melakukan kegiatan penambangan dengan menggunakan metode penambangan bawah tanah.

“Nah terlepas isi pasal 7 C, diduga penuh adanya penyeludupan hukum yang sangat menguntungkan asing dan di pasal itupun sangt tegas dikatakan bahwa ” berlaku untuk IUP dan IUPK Operasi Produksi, bukan untuk izin Kontrak karya, sehingga ketentuan pasal 7 C ayat d tidak berlaku untuk PT Freeport Indonesia yang masih memegang izin kontrak Karya,” tegasnya.

Terkait tambang bawah tanah, menurutnya, itu bukan hal baru. Sejak jaman belanda Indonesia juga sudah menambang  di bawah tanah seperti di Ombilin Sumbar dan tambang emas di Citotok Jabar dan beberapa tambang di Kaltim oleh Kitadin dan Fajar Bumi Sakti, ini persoalan teknologi saja dan dikerjakan oleh kontraktor pihak ke 3.

“Jangan rakyat diprovokasi dengan seolah-olah kita adalah bangsa yang terbelakang dan bodoh,” pungkas Yusri.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka