Jakarta, Aktual.co —Kisah perang gerilya melawan penjajah Belanda, yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di bawah kepemimpinan Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, sudah menjadi legenda dan bacaan wajib bagi para siswa di Indonesia. Ini kisah yang sangat inspiratif dan membangkitkan semangat kejuangan.
Jenderal Soedirman ketika bergerilya waktu itu menderita sakit parah. Dengan hanya sebelah paru-paru yang masih berfungsi, ia memimpin perlawanan pasukan TNI melawan militer Belanda yang persenjataannya lebih lengkap dan lebih modern. Menurut penuturan mantan pengawal Jenderal Soedirman di zaman perang kemerdekaan, Letjen TNI-AD (Purn) Tjokropranolo, perjuangan yang dilakukan Jenderal Soedirman saat itu memang berat.
Dengan harus ditandu karena keparahan penyakitnya, beliau bergerilya masuk-keluar hutan, naik-turun bukit, menyusup ke desa dan kota. Kota-kota besar di Jawa dikuasai militer Belanda, jadi pasukan Jenderal Soedirman menghindari kawasan tersebut. Kalau bukan karena tekad yang bulat, keyakinan penuh pada tujuan perjuangan, jiwa yang sepi dari pamrih, dan iman yang kuat, mungkin banyak orang lebih memilih menyerah saja.
Dalam buku karya Tjokropranolo, Panglima Besar Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia (Jakarta: CV Haji Masagung, 1993), dituturkan bahwa pada Januari 1949, pasukan Belanda yang masih ingin bercokol di Indonesia, mengepung konsentrasi gerilya Jenderal Soedirman. Ia saat itu menjadi buruan nomor 1 tentara Belanda. Para pengawal Jenderal Soedirman karena itu juga sangat hati-hati, agar lokasinya jangan sampai diketahui Belanda. Mungkin saja ada mata-mata atau informan yang disebar di desa-desa oleh Belanda, untuk melacak keberadaan Jenderal Soedirman.
Waktu kelompok gerilya Jenderal Soedirman hendak memotong jalan Ponorogo-Trenggalek pada 26 Januari 1949, Tjokropranolo seperti biasa mencari dulu seorang penunjuk jalan. Oleh penduduk daerah itu, Tjokropranolo diperkenalkan pada seorang penunjuk jalan bernama Putih. Mula-mula Tjokropranolo merasa aneh, mengapa justru orang berperawakan kecil dan berkulit putih itu yang dipilih sebagai pemandu, sedangkan di sekeliling dia banyak orang lain yang postur badannya besar dan kokoh.
Tapi tanpa banyak tanya lagi, Tjokropranolo (kelak ia sempat menjadi Gubernur DKI Jakarta) setuju saja “si Putih” menjadi penunjuk jalan. Dalam perjalanan antara Desa Gunungtukul ke Desa Ngideng, si Putih lah yang menjadi pemandu. Putih ini orangnya memang agak aneh, tetapi perangainya lembut dan pula gerakannya lincah.
Di Ngideng, rombongan gerilya Jenderal Soedirman beristirahat di rumah seseorang yang cukup berada dan rombongan ini dilayani dengan baik, dan dipersilakan menginap di rumah itu. Rumah itu tidak jauh dari sungai yang airnya cukup deras, sehingga banyak yang lebih senang mandi dan buang air di sungai daripada di sumur.
Di sini Tjokropranolo mulai curiga terhadap si Putih, karena dia tidak mau mandi bersama-sama rombongan Jenderal Soedirman. Si Putih malah ingin mandi di tempat yang jauh dari rombongan itu.
Karena rasa curiganya semakin meningkat, dan pentingnya bersikap waspada akan kemungkinan adanya penyusupan mata-mata atau informan Belanda di dalam rombongan, Tjokropranolo pun bertindak.
Ia segera memerintahkan Mustafa, prajurit kepercayaannya, untuk membuntuti dan mengamati si Putih. Tjokropranolo khawatir, jika si Putih ini memang mata-mata, bisa saja dia kabur ke Ponorogo dan melapor ke pasukan Belanda tentang posisi rombongan gerilya Jenderal Soedirman. Sangat berbahaya!
Hasil pemantauan Mustafa ternyata sangat di luar dugaan. Seusai mengintai perilaku si Putih, Mustafa kembali menemui Tjokropranolo dan dengan tertawa melaporkan bahwa Putih adalah seorang wanita yang bertabiat kelaki-lakian atau laki-laki bertabiat kewanitaan. Ternyata si Putih itu seorang waria.
Tjokropranolo pun merasa lega. Pantas saja si Putih selalu menghindar mandi bersama rombongan gerilya yang laki-laki semua! Konon menurut cerita, di daerah Ponorogo pada masa lalu memang ada anak laki-laki (gemblak) yang mempunyai sifat kewanitaan, yang memang disenangi oleh para warok. Bagi pembaca yang memahami budaya reog Ponorogo tentunya bisa memahami hal ini. ***
Jakarta, Februari 2015
E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com
Artikel ini ditulis oleh: