Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto.Ist

Jakarta, Aktual.com – Apa yang terjadi jika calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan, dikalahkan dalam Pilpres 2024 justru sebelum masa kampanye dimulai? Namun, yang mengalahkan Anies Baswedan bukan suara rakyat di Tempat Pemungutan Suara (TPS), tapi ketuk palu Mahkamah Agung.

Dalam kasus ini, Anies Baswedan tersisih bukan karena kalah suara di hari pemungutan suara, tapi karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu gagal mendapatkan tiket capres 2024. Hal ini bisa terjadi jika Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bermasalah secara hukum karena Mahkamah Agung memenangkan gugatan Peninjauan Kembali (PK) Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko.

“Kemungkinan kalahnya Demokrat versi AHY di Mahkamah Agung belum pasti. Tapi kemungkinan itu tak bisa sama sekali diabaikan. Tanpa kehadiran Anies Baswedan sebagai capres, maka Pilpres 2024 hanya diikuti oleh All The President’s Men: Prabowo versus Ganjar,” kata peneliti LSI Denny JA, Ade Mulyana, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (5/6/2023).

LSI Denny JA melakukan survei tatap muka (face to face interview) dengan menggunakan kuesioner kepada 1.200 responden di seluruh Indonesia pada 3-14 Mei 2023 dengan margin of error survei ini sebesar 2.9 persen.

Selain survei dengan metode kuantitatif, LSI Denny JA juga memperkaya informasi dan analisa atas isu paling mutakhir dengan metode kualitatif, seperti analisis media, in-depth interview, expert judgement, dan focus group discussion.

Menurut Ade Mulyana, jika Anies Baswedan gagal mendapatkan tiket capres, maka Pilpres 2024 hanya diikuti oleh calon presiden dari dua partai besar, yakni Ganjar Pranowo dari PDIP melawan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.

Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan partai besar lainnya, seperti Partai Golkar? Jika Anies gagal mendapatkan tiket capres dari Koalisi Perubahan, peluang Partai Golkar justru lebih hidup.

Ade Mulyana mengatakan, Partai Golkar dapat membuat Anies Baswedan memperoleh tiket capres cukup dengan berkoalisi dengan salah satu partai apa saja agar mendapatkan tiket minimum 20 persen kursi DPR, di luar PPP yang sudah mendukung Ganjar Pranowo.

Golkar juga akan memiliki daya tawar lebih kuat lagi karena dapat menggertak jika Airlangga Hartarto tak menjadi cawapres terpilih, baik oleh Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto. Partai Golkar bersama partai politik lain dapat menghidupkan kembali tiket capres Anies Baswedan di Pilpres 2024.

“Tapi, tentu itu bergantung pula pada kenekatan Airlangga Hartarto. Dia akan berhitung apa yang akan menimpa dirinya dan Partai Golkar jika berani mencalonkan Anies Baswedan sebagai capres. Airlangga akan berkaca dari apa yang dialami Surya Paloh,” ungkap Ade Mulyana.

Selain itu, kata Ade Mulyana, jika pada akhirnya Anies Baswedan juga tidak mendapatkan tiket capres dari Partai Golkar, maka bursa cawapres di Pilpres 2024 akan bertambah. Peringkat pertama cawapres 2024 akan mengerucut kepada Anies Baswedan versus Airlangga Hartarto karena masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya.

Anies Baswedan dinilai bisa menambah elektabilitas capres, berbeda dengan cawapres lain. Namun, Anies Baswedan tidak membawa partai besar, sumber dana, dan pengalaman di pemerintah pusat. Apalagi, Anies Baswedan dapat menjadi ancaman bagi sang capres karena bisa menjadi matahari kembar bagi presiden terpilih nanti.

“Sebaliknya, Airlangga Hartarto memang tidak menambah elektabilitas capres secara langsung melalui personal dirinya sendiri. Tapi, Airlangga bisa mempengaruhi elektabilitas capres secara tidak langsung. Itu karena Airlangga membawa mesin partai besar, sumber dana, dan pengalaman di pemerintah pusat untuk isu ekonomi,” terang Ade Mulyana.

Ade Mulyana mengungkapkan, di luar Anies Baswedan dalam bursa cawapres yang mampu mendongkrak elektabilitas capres, Airlangga Hartarto tetap memperoleh indeks cawapres tertinggi. Index cawapres ini merupakan variabel yang menjadi pertimbangan penentuan cawapres, yakni elektabilitas, ketua umum partai politik, tokoh dari ormas besar, pengalaman pemerintahan, dan jaringan sumber dana.

Airlangga Hartarto unggul karena ada tiga variabel yang dimiliki, yakni ketua umum partai politik, pengalaman pemerintahan, dan jaringan sumber dana. Sedangkan, cawapres lain hanya memiliki satu atau dua variabel saja adalah Erick Thohir, Muhaimin Iskandar, Sandiaga Uno, Mahfud MD, dan Khofifah Indar Parawansa.

Ade Mulyana menyatakan, jika Anies Baswedan gagal mendapatkan tiket capres di Pilpres 2024, ada beberapa opsi yang bisa dipilihnya. Anies Baswedan bisa bertarung kembali di Pilkada DKI Jakarta 2024-2029 atau masuk dalam bursa cawapres.

“Apapun yang dipilihnya, Anies tentu memilih membuatnya lebih mudah untuk mendapatkan tiket capres di 2029. Satu periode menjadi orang nomor satu di Jakarta tentu menjadi modal utama Anies untuk maju kembali di Pilkada DKI 2024,” ujar Ade Mulyana.

Jika lebih memilih masuk ke bursa cawapres, Anies Baswedan belum tentu akhirnya yang dipilih meski dapat menaikkan elektabilitas sang capres. Pasalnya, Anies Baswedan berpotensi menjadi matahari kembar bagi presiden terpilih nantinya.

“Di samping itu ada rasa khawatir presiden terpilih. Dengan menjadi wapres, bukankah itu membuat Anies menjadi capres yang lebih kuat lagi di 2029 untuk kelak menantang sang presiden itu sendiri?” ujarnya.

Jika Anies Baswedan gagal mendapatkan tiket capres, nasib partai politik Koalisi Perubahan kemungkinan bakal pecah. Melihat jejak panjang persaingan politik, maka kecil kemungkinan Partai Demokrat dan Partai Nasdem bergabung dengan PDIP. Sementara, karena alasan ideologi atau politik agama, kecil pula kemungkinan PKS berkumpul dengan PDIP untuk mendukung Ganjar Pranowo.

“Jauh lebih besar kemungkinan semua partai Koalisi Perubahan, Nasdem, PKS, dan demokrat, bergabung dengan Prabowo,” ungkapnya.

Ade Mulyana juga mengungkapkan, jika Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasangan capres, yakni Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, maka posisi Prabowo kemungkinan besar menjadi pemenang dengan selisih 7,2 persen. Prabowo Subianto memiliki elektabilitas sebesar 50,4 persen, Ganjar Pranowo 43,2 persen. Sedangkan, 6,4 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab.

Sementara, dalam posisi dukungan capres tertutup tiga nama, Prabowo Subianto unggul tipis dengan meraih elektabilitas 33,9 persen, Ganjar Pranowo 31,9 persen, dan Anies Baswedan 20,8 persen. Prabowo menang dengan selisih 2,0 persen saja di atas Ganjar. Prabowo juga unggul telak atas Ganjar ketika head to head dengan selisih dari 2,0 persen menjadi 7,2 persen.

“Mengapa terjadi peningkatan elektabilitas Prabowo ketika head to head dengan Ganjar? Hal ini terjadi karena migrasi pemilih Anies yang tak berimbang. Mayoritas pendukung Anies lebih banyak berpindah ke Prabowo dibanding migrasi ke Ganjar,” kata Ade Mulyana.

Menurut Ade Mulyana, sebesar 50,8 persen pendukung Anies akan berpindah ke Prabowo. Sementara, pendukung Anies yang berpindah ke Ganjar hanya 25,4 persen.

Kemenangan Prabowo Subianto atas Ganjar Pranowo paling tinggi ada di segmen pendapatan di bawah dua juta per bulan. Pada segmen ini, Prabowo Subianto elektabilitasnya mencapai 51,4 persen dan Ganjar Pranowo 41,4 persen.

Prabowo juga menang di segmen pendidikan tamat SD ke bawah dan pendidikan tamat D3 ke atas. Sedangkan, Ganjar menang di segmen pendidikan tamat SMP sederajat dan SMA sederajat.

Kemenangan Prabowo atas Ganjar paling tinggi di segmen tamat SD ke bawah dengan meraih 56,4 persen dan Ganjar meraih 37,1 persen. Kemenangan Ganjar atas Prabowo paling tinggi di segmen tamat SMA sederajat dengan meraih 47,7 persen dan Prabowo memperoleh 45,4 persen.

Prabowo juga menang di lima teritorial, yakni Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali-NTB-NTT, Maluku-Papua, sedangkan Ganjar menang di satu teritorial, yakni Jawa. Kemenangan Prabowo atas Ganjar paling tinggi di teritori Sulawesi dengan meraih 76,2 persen dan Ganjar hanya 22,6 persen. Secara umum, Kemenangan Ganjar ada di Pulau Jawa dengan elektabilitas 52,5 persen dan Prabowo hanya sebesar 43,4 persen.

Selain itu, Prabowo juga menang di tujuh pemilih partai, yakni Gerindra, Golkar, PKB, PKS, Nasdem, PAN, dan Demokrat. Sedangkan, Ganjar hanya menang di satu pemilih partai, yakni PDIP. Kemenangan Prabowo paling tinggi di pemilih Partai Gerindra. Sementara, kemenangan Ganjar paling tinggi di pemilih PDIP.

Prabowo juga menang di segmen Islam, sedangkan Ganjar menang di segmen non-Islam. Di pemilih Islam, elektabilitas Prabowo mencapai 51,8 persen dan Ganjar 43,0 persen. Di segmen non Islam, elektabilitas Ganjar mencapai 47,5 persen dan Prabowo 26,4 persen.

Prabowo juga menang di pemilih laki-laki maupun pemilih perempuan. Kemenangan Prabowo atas Ganjar paling tinggi di gender laki-laki dengan elektabilitas sebesar 52,1 persen dan Ganjar sebesar 42,9 persen.

Lalu, Prabowo menang di tiga provinsi dari lima provinsi terbesar, yakni Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Banten. Sedangkan, Ganjar menang di dua provinsi, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemenangan Prabowo paling tinggi di Banten dengan elektabilitas sebesar 82,2 persen dan Ganjar hanya 16,9 persen. Sementara, kemenangan Ganjar paling tinggi di Jawa Tengah dengan elektabilitas mencapai 80,6 persen dan Prabowo sebesar 17,8 persen.

“Prabowo menang di dua media sosial, yakni Facebook dan Email. Sedangkan, Ganjar menang di tiga media sosial, Tiktok, Instagram, dan Twitter,” ungkap Ade Mulyana.

Dalam survei LSI Denny JA, dikemukakan juga adanya beberapa hal yang mengganggu Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan. Pertama, pada Mei 2023, Partai Demokrat versi Moeldoko mengajukan empat bukti baru ke Mahkamah Agung agar kepengurusannya disahkan.

Jika Demokrat versi moeldoko yang disahkan, Partai Demokrat besar kemungkinan tak mendukung Anies Baswedan menjadi Capres 2024. Sebab, bergantinya pimpinan yang sah di Partai Demokrat, berganti pula calon presiden yang diajukan.

Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) termasuk yang paling awal membuat pernyataan. Menurut AHY, gugatan hukum Moeldoko terhadap kepengurusan Partai Demokrat melalui PK ke MA berujung untuk menggagalkan Anies Baswedan menjadi Capres 2024.

Kedua, kasus hukum juga menimpa petinggi Partai Nasdem. Kasus korupsi Rp8 triliun memang untuk Johnny G Plate sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Namun, masalahnya, Johnny G Plate juga Sekretaris Jenderal Partai Nasdem.

Menurut Ade Mulyana, pemberantasan korupsi memang menjadi prioritas untuk membentuk pemerintahan yang bersih. Namun, konteks dan suasana politik masa kini mudah saja menafsir peristiwa ini juga sebagai bagian dari tekanan politik.

“Banyak menteri dan mantan menteri yang potensial bermasalah secara hukum. Pemberantasan korupsi atas Johnny G Plate dianggap tebang pilih. Ia pisau yang tajam untuk oposisi, tapi tumpul untuk kawan koalisi,” ujarnya.

Ketiga, bisnis Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, dikabarkan terkena dampak setelah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres. Jasa Katering selama 30 tahun di Freeport terancam diganti. Usaha properti milik Surya Paloh senilai Rp8 triliun juga macet, di masna rencananya mendapatkan pinjaman bank pemerintah.

“Jika Partai Demokrat atau Partai Nasdem tak lagi mencalonkan Anies Baswedan, tiket capres Anies gagal di dapat. Tanpa kehadiran salah satu partai itu, Koalisi Perubahan tak mencapai minimum 20 persen untuk pencalonan presiden,” ungkapnya.

Untuk diketahui, saat Partai Nasdem mempunyai 59 kursi di DPR periode 2019-2024 atau setara dengan 10,26 persen. Partai Demokrat mempunyai 54 kursi di DPR atau setara 9,39 persen. Sedangkan, PKS memiliki 50 kursi di DPR atau setara 8,70 persen. Jika ketiga kursi di Koalisi Perubahan digabungkan, maka berjumlah 163 kursi atau setara dengan 28,35 persen.

Meski ada banyak tekanan, kata Ade Mulyana, belum tentu upaya menggagalkan Anies baswedan sebagai capres 2024 berhasil. Sebab, hasil tekanan politik dan hukum justru dapat memberikan militansi tambahan bagi Koalisi Perubahan.

“Semakin ditekan justru semakin hidup. Bahkan, Koalisi Perubahan dapat memainkan kartu ‘diperlakukan tak adil,’ atau ‘dizalimi.” Ini untuk mendapatkan simpati ekstra dari pemilih. Namun, jika benar akhirnya Anies Baswedan tak dapat tiket capres 2024, maka pilpres akan selesai lebih cepat. Ini akan menjadi pilpres tanpa putaran kedua,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Tino Oktaviano