Menko Polhukam Luhut Pandjaitan (kedua kanan), Menkumham Yasonna Laoly (kanan), Mendagri Tjahjo Kumolo (kedua kiri) menerima plakat deklarasi yang diberikan oleh Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (kiri) saat penutupan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar, di Balai Sidang Jakarta, Senin (25/1). Partai Golkar secara resmi mendeklarasikan untuk mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam segala bidang untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/aww/16.

Jakarta, Aktual.com — Pengamat Politik UIN Pangi Syarwi Chaniago menilai bergabungnya Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke dalam pemerintahan akan memberikan beberapa dampak politik.

Pertama, akan muncul kecurigaan dan rasa tidak nyaman dari partai utama pendukung pemerintah. Misal, jatah menteri dari parpol pendukung bisa berkurang. Walaupun, Golkar mendeklarasikan bahwa bergabungnya partai berlambang pohon beringin itu ke pemerintah tanpa syarat.

Kedua, polarisasi yang terbentuk tidak lagi pola simetris antara kelompok oposisi versus koalisi. Menurut Pangi, Presiden Jokowi akan semakin sulit membedakan mana lawan dan mana kawan karena bergabungnya Golkar dan PPP tetap harus dicurigai.

“Yang terbentuk adalah koalisi persekongkolan dan sikap politik berpura- pura. Karena partai tersebut mengunakan jurus terjepit dan berputar haluan sedikit “the power of kepepet” karena hanya dapat pengesahan Kemenkumham dulu,” ujar Pangi di Jakarta, Rabu (27/1)

Pangi menilai bukan tidak mungkin di tengah jalan partai tersebut berbelok.

“Atau yang terjadi partai koalisi bercita rasa oposisi, ini pernah terjadi di rezim SBY yaitu berseberangan politik PKS dengan partai the rulling party yaitu Demokrat, kasus kenaikan harga minyak PKS tidak all out mendukung kebijakan pemerintah. Ini bisa merepotkan presiden Jokowi,” ungkapnya

Lebih lanjut, Pangi membandingkan dengan sistem presidensial AS maka tak mengenal habbit politik agraris seperti Golkar yaitu bergabung ke pemerintah namun tetap berada di gerbong KMP. Menurutnya, persoalan ini membingungkan dengan sikap politik dua kaki yang tidak jelas.

“Di AS partai pemenang pemilu langsung berkuasa dan partai pendukung utama pendukung presiden yang kalah otomaticly oposisi. Ketika Obama menang maka partai republik langsung jadi oposisi. Pola asimetris tentu akan mempersulit presiden Jokowi membaca mana yang lawan dan mana kawan. Kalau pola simetris seperti AS jelas mana kawan dan mana lawan,”

“Namun dengan titik kekuasaan yang sebarannya banyak titik (asimetris) tetap presiden Jokowi memegang kekuasaan yang lebih dominan,” jelasnya

Sementara, terkait haruskah Jokowi langsung memberi kursi menteri untuk Golkar demi mengikat dukungannya, Pangi menilai memang harus ada MoU antara presiden Jokowi dengan partai yang bergabung ke koalisi.

“Kalau tidak ada kursi menteri ya kuat dugaan saya Golkar berbalik dan berputar ke KMP karena sudah mendapatkan SK Kemenkumham,” cetusnya.

Pangi berharap dengan bergabungnya ke pemerintahan, PPP dan Partai Golkar tetap setia dan loyal terhadap pemerintah. Namun, tidak hilang juga daya kritisnya jika program pemerintah tidak berpihak membela nasib rakyat kecil.

“Mudah mudahan Golkar dan PPP tidak berselingkuh atau berkhianat terhadap pemerintah,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh: